Sabtu, 29 Juni 2013
BELAJAR TENTANG DAMPAK DAN KERUGIAN DARI KERUSAKAN HUTAN
2010hhu_abstract.pdf370.8KbPDFView/ Open2010hhu_abstract.ps18.45MbPostscriptView/ Open2010hhu.pdf1.121MbPDFView/ OpenBab 1 2010hhu.pdf311.8KbPDFView/ OpenBab 2 2010hhu.pdf316.4KbPDFView/ OpenBab 3 2010hhu.pdf325.5KbPDFView/ OpenBab 4 2010hhu.pdf320.2KbPDFView/ OpenBab 5 2010hhu.pdf389.1KbPDFView/ OpenBab 6 2010hhu.pdf297.0KbPDFView/ OpenBab 7 2010hhu.pdf509.7KbPDFView/ OpenBab 8 2010hhu.pdf312.4KbPDFView/ OpenBab 9 2010hhu.pdf285.2KbPDFView/ OpenCover 2010hhu.pdf400.4KbPDFView/ OpenDaftar Pustaka 2010hhu.pdf526.5KbPDFView/ Open
Kamis, 27 Juni 2013
5 (LIMA) KATAGORI UNTUK MENGETAHUI TINGKAT KELANGKAAN DARI SUATU JENIS PLASMA NUTFAH NABATI
Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA
Berikut merupakan kutipan ilmiah yang disusun Penulis dan digunakan sebagai referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.
5 (LIMA) KATAGORI UNTUK MENGETAHUI TINGKAT KELANGKAAN DARI SUATU
JENIS PLASMA NUTFAH NABATI
Untuk mengetahui tingkat kelangkaan dari
suatu jenis plasma nutfah nabati, dikenal ada 5 macam katagori yaitu :
- Extinct (punah) adalah sebutan yang diberikan pada tumbuhan yang telah musnah atau hilang sama sekali dari permukiman bumi.
- Endangeret (genting) adalah sebutan untuk jenis yang sudah terancam kepunahan dan tidak akan dapat bertahan tanpa perlindungan yang ketat untuk menyelamatkan kelangsungan hidupnya. Contoh : Rafflesia arnoldii dan purwoceng (Pimpinella pruatjan).
- Vulnerable (rawan) katagori ini untuk jenis yang tidak segera terancam kepunahan tetapi terdapa dalam jumlah yang sedikit dan eksploitasinya terus berjalan sehingga perlu dilindungi contohnya adalah : cendana (Satalum album) kayubesi (Eusideroxylon ewageri) dan ki koneng (Arcangelisis flava).
- Rare (jarang) sebutan untuk jenis yang populasinya besar tetapi terbesar secara lokal atau daerah penyebarannya luas tapi tidak sering dijumpai, serta mengalami erosi yang berat. Contohnya : sawo kecik (Munilkara kauki), kedawung (Parkia roxburghii) dan pulai pandak (Rauvolfia serpentina).
- Indeterminate (terkikis) sebutan untuk jenis yang jelas mengalami proses pelangkaan tetapi informasi keadaan sebenarnya belum mencukupi, sebagian besar jenis-jenis plasma nutfah nabati yang langka termasuk katagori ini.
DAFTAR NAMA POHON KHAS BATAK DI DATARAN TINGGI TAPANULI PROVINSI SUMATERA UTARA
Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA
Berikut merupakan kutipan ilmiah yang disusun dan digunakan
Penulis sebagai referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.
DAFTAR NAMA POHON KHAS
BATAK DI DATARAN TINGGI TAPANULI
PROVINSI SUMATERA UTARA
Tanaman minyak atsiri Litsea
cubeba (lemo). (Litsea
cubeba) dan kemenyan (Styrax sumatrana) untuk kawasan hutan yang
dilindungi. Tinjauan ekologis Litsea cubeba menunjukkan bahwa L. cubeba dapat
tumbuh pada :
- kisaran suhu antara 22,10 – 41,53 oC,
- kelembaban udara maksimum antara 35,12-85,99% dan minimum antara 26,77-76,69%,
- intensitas cahaya maksimum antara 183 -101.900 lux dan minimum 014-33.800 lux.
Jenis pohon yang
berasosiasi Pinus merkusi, antara lain :
- kemenyan,
- makadamia,
- jengkol,
- enau,
- kemiri,
- hapas-hapas,
- salagundi,
- simartolu,
- motung,
- simarsihalak,
- landorung,
- api-api,
- sepang,
- haudolok,
- siringgas,
- medang,
- boji-boji,
- petai,
- toruk, dan
- hoting.
Aspek Lingkungan Hidup
NO
|
URAIAN
|
|||||
1
|
Ketinggian (m dpl)
|
1278 – 1300
|
1187-1296
|
777-812
|
945-1000
|
1128- 1142
|
2
|
Kelembaban udara (%)
|
Maks: 51,76 - 65,70,
min: 44,55-62,56.
|
55,62-74,67,
|
Maks:35,12-63,01,
min:26,77-59,86
|
Maks: 81,27-83,93,
|
71,46-76,20
|
min: 75,23-76,32,
|
||||||
3
|
Suhu (oC)
|
27,88-32,53
|
22,10-31,81,
|
31,32-41,53
|
22,87- 24,51
|
23,85
|
4
|
Intensitas cahaya
(lux)
|
18.550-19.290
|
57-9380
|
33.800-101.900
|
120-291
|
1358 - 1987
|
5
|
Asosiasi L.
cubebadengan jenis lain
|
kopi, harimuting,
pakis, bunga botar, Sanduduk, Tambicu, Marak Putih, Randu kambing, Salagundi,
Medang, Hapas-hapas, Landorung, Atuang, dan Rugun-rugun
|
simartolu, kopi,
sidabudakka, andulpak, medang, lambistik, pinus, sanduduk, haudolok, jengkol,
petai, dan kemiri.
|
sanduluk, rumput
sanggar, tambisu, pornya-pornya, sitarak, lamoe, sipesek, goring-goring,
sidabudakka, hauranduk, handomang dan medang.
|
Kemenyan, Boji-boji,
Petai, Toruk, Hoting, Medang, Simartolu, Torop, Sanduduk, pakis, arang-arang,
ria-ria, langge, sukit , Jengkol, Api-api, Sepang, haudolok, Hauhalak,
Siringgas, Suhul-suhul, Haugadong, Haurasa, Dumon-dumon, Alingit, Andor,
Hauraja, Hoting bulu, Sitopu-topu, Apus tutung, Sukit, Rumput manis, Kopi,
Taki dan andur bosi.
|
Landorung,
Simarsihalak, Pirdot, Tambisu, Ria-ria, Hauhumbang, Sanggirgir, Bunga Botar,
Siala, dan Apus tutung.
|
BELAJAR TENTANG GEMPA DI SUMATERA UTARA DAN SEKITARNYA
Perpustakaan
Helmut Todo Tua Simamora
Badan
Lingkungan Hidup, Penelitian dan Pengembangan
Kabupaten
Samosir, Provinsi Sumatera Utara
INDONESIA
BELAJAR TENTANG GEMPA DI SUMATERA UTARA DAN SEKITARNYA
Berikut
merupakan kutipan ilmiah yang digunakan Penulis sebagai
referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.
Bencana
dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tiba-tiba atau musibah besar yang
mengganggu susunan dasar dan fungsi normal dari suatu masyarakat atau
komunitas. Bencana juga dapat dimaknai sebagai suatu kejadian atau serangkaian
kejadian yang memberi, meningkatkan jumlah korban atau kerusakan atau kerugian harta
benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan yang penting atau sarana kehidupan
pada satu skala yang berada di luar kapasitas normal dari komunitas-komunitas
(Coburn et.al, 1994).
Secara
sporadis bencana muncul masih dalam koridor penjelasan ilmiah namun prediksi
bencana merupakan satu misteri ilmiah. Bencana datangnya tidak terduga,
sehingga yang paling diutamakan adalah proses minimalisasi bencana dan
bagaimana cara menanggulangi sehingga bisa dilakukan tindakan preventif.
Bencana
alam, dilihat dari penyebabnya dapat dibedakan atas sedikitnya tiga jenis yaitu
bencana geologis, klimatologis dan ekstra-terestrial. Bencana alam geologis
merupakan bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam
bumi meliputi gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi.
Bencana
yang berkaitan dengan batu-batuan yakni longsor, gerakan tanah, serta dalam
skala terbatas menyangkut tempat, termasuk pula banjir dan banjir bandang
(Brahmantyo dan Puradimaja, 2005). Bencana alam klimatologis adalah bencana yang
ditimbulkan oleh cuaca yang sudah dapat diprediksi kedatangannya, arah, dan
lokasi yang akan dilanda bencana. Bencana alam ekstra-terestrial adalah
bencana
yang terjadi akibat hantaman meteor atau benda dari angkasa luar yang
kedatangannya tidak dapat diprediksi.
Pengertian
gempa bumi menurut Boen dalam Sudibyakto (2000) adalah suatu gejala fisik yang
ditandai dengan bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas, getaran-getaran
tersebut terjadi karena terlepasnya suatu energi secara tiba-tiba. Namun gejala-gejala
geologis tersebut juga dapat berakibat terjadinya bencana geologis lainnya
selain gempa bumi seperti gunung meletus, tanah longsor, banjir dan juga
tsunami.
Gempa
bumi bisa disebabkan oleh berbagai sumber, antara lain (1) letusan gunung berapi
(erupsi vukalnik), (2) tubrukan meteor, (3) ledakan bawah tanah (seperti uji
nuklir), dan (4) pergerakan kulit Bumi (Rusydi, 2004). Di bawah lempengan bumi
ada magma yang bergerak. Gerakan ini menghasilkan gaya yang dirasakan
oleh lempengan terutama pada daerah sambungan antar lempeng. Pada satu saat,
gaya ini benar-benar membuat lempengan bergerak. Gerakan ini membuat tanah di
atasnya dan juga magma di bawahnya bergetar (vibrasi). Getaran ini akan
diteruskan sampai ke permukaan tanah, dan inilah yang disebut gempa bumi
(Rusydi, 2004). Bencana alam gempa bumi sampai sekarang belum bisa
diprediksikan secara akurat karena pengetahuan kita pada how the earthquake
happens hanya sanggup memprediksi gempa dengan orde presisi ratusan atau
bahkan ribuan tahun.
Bencana
yang mungkin terjadi setelah gempa bumi adalah tanah longsor, banjir dan
kebakaran. Selain itu, gempa bumi juga dapat menimbulkan tsunami atau gelombang
pasang (Eisner and Gallion, 1994). Tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang,
yang artinya pelabuhan (tsu) dan gelombang (nami). Ini adalah terminologi untuk
menyebutkan fenomena gelombang laut yang tinggi dan besar akibat gangguan
mendadak pada dasar laut yang secara vertikal mengurangi volume kolom air. Jadi
gempa bumi dan tsunami sangat erat kaitannya hanya terjadi pada lokasi yang
berbeda dimana tsunami merupakan efek dari gempa bumi yang terjadi di dasar
laut. Namun efek gelombang laut tersebut dapat memperluas wilayah ‘korban’
apabila tidak ada ‘penghadang’ yang kokoh (Sudarmono, 2005).
Wilayah
Indonesia dipengaruhi oleh zona pertemuan empat lempeng besar dunia yaitu
lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pacifik dan Philipina. Pengaruh dari pertemuan
lempeng dunia ini kepada kondisi seismik tektonik kawasan Indonesia (Wardani
et.al, 2005). Gempa tektonik berskala besar dan kecil banyak melanda wilayah
selatan dan barat Indonesia, mulai dari pesisir barat Sumatera, pesisir selatan
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kepulauan Maluku hingga Papua.
Wilayah-wilayah yang rawan gempa dan gelombang tsunami, hádala wilayah yang
dilalui lempeng bumi yang bisa bergeser.
Sesungguhnya
kemungkinan terjadinya gempa bumi dapat diprediksikan walaupun tempat dan waktu
kejadian belum bisa dipastikan, dengan mengetahui sejarah kegempaan yang
terjadi di suatu wilayah dapat diprediksikan masa pengulangan gempa
selanjutnya. Masa pengulangan terjadinya gempa-gempa besar dari beberapa
penelitian memperlihatkan kurun waktu ratusan tahun pada lokasi yang sama
(Canahar, et.al, 2005). Dengan mengetahui sejarah kegempaan yang ada, daerah
yang dulunya pernah mengalami gempa dapat mempersiapkan daerahnya untuk
menghadapi gempa yang dapat datang kapan saja.
Mitigasi
Bencana
Penanganan
bencana harus dengan strategi proaktif, tidak semata-mata bertindak
pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana. Berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk
mengantisipasi datangnya bencana dengan membentuk system peringatan dini,
identifikasi kebutuhan dan sumber-sumber yang tersedia, penyiapan anggaran dan
alternatif tindakan, sampai koordinasi dengan pihakpihak yang memantau
perubahan alam. Dalam mitigasi dilakukan upaya-upaya untuk meminimalkan dampak
dari bencana yang akan terjadi yaitu program untuk mengurangi pengaruh suatu
bencana terhadap masyarakat atau komunitas dilakukan melalui perencanaan tata
ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana,
penyusunan data base, pemantauan dan pengembangan.
Mitigasi
bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana
karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang
dimaksudkan untuk mengantisipasi agar korban jiwa dan kerugian materi yang
ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana
maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan
kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup
serta kedisiplinan terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Istilah program
mitigasi bencana mengacu kepada dua tahap perencanaan yaitu: Pertama,
perencanaan sebelum kejadian untuk manajemen bencana, mencakup
aktivitas-aktivitas mitigasi dan perencanaan bencana; Kedua, perencanaan serta
tindakan sesudah kejadian, meliputi peningkatan standar teknis dan bantuan
medis serta bantuan keuangan bagi korban (Inoghuci et.al, 2003).
Dalam
mitigasi bencana dilakukan tindakan-tindakan antisipatif untuk meminimalkan
dampak dari bencana yang terjadi dilakukan melalui perencanaan tata ruang,
pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan
data, pemantauan dan pengembangan. Di negara-negara maju, kesalahan dalam
pembangunan diimbangi melalui perencanaan yang matang (Inoghuci et.al, 2003).
Belajar dari bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember 2004 lalu,
besarnya bencana selain diakibatkan oleh tingginya gelombang tsunami, juga oleh
tata ruang yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan, rumah dibangun
dekat dengan laut tidak adanya sabuk hijau, dan mangrove tinggal sedikit (Cahanar
ed., 2005).
Belajar
dari pengalaman ini, pihak pemerintah daerah yang memiliki wilayah pesisir yang
rawan gempa dan tsunami hendaknya menata kembali wilayahnya, dengan tidak
membangun wilayah pemukiman, fasilitas ekonomi dan industri di dekat pantai.
Selain itu perlu dipersiapkan jalur evakuasi untuk penyelamatan penduduk dan
dibangun lokasi pengungsian serta depot untuk bahan makanan dan obat-obatan
bagi para pengungsi (Cahanar ed., 2005).
Di
pulau Okushirito Jepang yang sangat dekat dengan pusat gempa diterjang tsunami
dalam waktu yang bersamaan dengan terjadinya gempa sedangkan alat deteksi mampu
mendeteksi tsunami dalam waktu mendekati 1 menit, sehingga di daerah rawan
tsunami diberikan rambu petunjuk arah untuk
memudahkan
mencapai lokasi evakuasi (Nariman, 2005).
Geoteknik
dan Geologi
Jalur patahan
Renun-Toru yang membelah bumi Sumatera Utara yang melintasi Kabupaten Karo,
Dairi, Samosir, Pak-pak Barat, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli
Selatan dan Mandailing Natal memberikan konsekuensi adanya bahaya gempa yang
mengancam kawasan patai barat Sumatera Utara termasuk Kota Sibolga.JENIS BAHAN PERUSAK OZON (BPO) YANG IMPORNYA DIATUR DI DALAM PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua | |||||
Environment, Research and Development Agency | |||||
Samosir Regency Government of North Sumatera Province | |||||
INDONESIA | |||||
JENIS BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON (BPO) YANG IMPORNYA DIATUR DI DALAM | |||||
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA | |||||
NO | NAMA BARANG | URAIAN NAMA BARANG | NO. HS | NO. CAS | |
1 | CFC-11 | Triklorofluoro Metana | 2903.41.00.00 | 75-69-4 | |
2 | CFC-12 | Dikloro difluoro Metana | 2903.42.00.00 | 75-71-8 | |
3 | CFC-13 | Kloro Trifluoro Metana | 2903.45.10.00 | 75-72-9 | |
4 | CFC-111 | Pentaklorofluoro Etana | 2903.45.21.00 | 354-56-3 | |
5 | CFC-112 | Tetrakloro Difluoro Etana | 2903.45.22.00 | 76-12-0 | |
6 | CFC-113 | Trikloro Trifluoro Etana | 2903.43.00.00 | 76-13-1 | |
7 | CFC-114 | Dikloro Tetra fluoro Etana | 2903.44.00.00 | 76-14-2 | |
8 | CFC-115 | Kloro Pentafluoro Etana | 2903.44.00.00 | 76-15-3 | |
9 | CFC-211 | Heptakloro fluoro propana | 2903.45.31.00 | - | |
10 | CFC-212 | Heksakloro difluoro propana | 2903.45.32.00 | - | |
11 | CFC-213 | Pentakloro trifluoro propana | 2903.45.33.00 | - | |
12 | CFC-214 | Tetrakloro tetrafluoro propana | 2903.45.34.00 | - | |
13 | CFC-215 | Dikloro heksafluoro propana | 2903.45.35.00 | - | |
14 | CFC-216 | Dikloro heksafluoro propana | 2903.45.36.00 | - | |
15 | CFC-217 | Kloroheptafluoro propana | 2903.45.37.00 | - | |
16 | Metil Bromida | Bromomethana | 2903.30.20.00 | 74-83-9 | s.htt-16 |
17 | R-500 | Blended antara CFC-12/HFC-152a, | 2824.71.00.00 | - | s.htt-17 |
R-502 blended HFC-22/CFC-115 | s.htt-18 | ||||
18 | R-502 | Campuran mengandung turunan | 3824.71.00.00 | - | s.htt-19 |
perhalogen dari HC Asiklik | |||||
mengandung dua atau lebih | |||||
halogen berbeda | |||||
- mengandung HC, Asiklik | |||||
perhalogen hanya fluor dan khlor | |||||
- Mengandung R-115/HFC-22 | |||||
(Chlorodifluoro ethane) |
Rabu, 26 Juni 2013
BELAJAR TENTANG HUTAN
Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA
Berikut merupakan kutipan ilmiah
yang bermanfaat sehingga disusun oleh Penulis dan digunakan sebagai
referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.
BELAJAR TENTANG HUTAN
Hutan adalah sebuah
kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini
terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon
dioxide sink), habitathewan,
modulator arus
hidrologika, serta pelestari tanah,
dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh
dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di
dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman,
terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup
luas.
Pohon sendiri
adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu
berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara
mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk
tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu
menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda
daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis,
rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang berbeda
daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini
berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta
beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak
terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan
sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat
diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada
lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal
seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan
fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan
global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu
kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat
bertumbuhnya berjuta tanaman.[1]
Bagian-bagian hutan
Hutan Slurup di gunung Wilis pada
sisi Kabupaten Kediri, tepatnya di daerah Dolo
kecamatan Mojo. Hutan dengan banyak aliran air, berhawa dingin dan tingkat
kelembapan rendah
Bayangkan mengiris sebuah hutan secara melintang. Hutan
seakan-akan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian di atas tanah, bagian di
permukaan tanah, dan bagian di bawah tanah.
Jika kita menelusuri bagian di atas tanah hutan, maka akan
terlihat tajuk (mahkota) pepohonan, batang kekayuan, dan tumbuhan bawah sepertiperdu dan semak belukar. Di hutan alam,
tajuk pepohonan biasanya tampak berlapis karena ada berbagai jenis pohon yang
mulai tumbuh pada saat yang berlainan.
Di bagian permukaan tanah, tampaklah berbagai macam semak
belukar, rerumputan,
dan serasah. Serasah disebut pula 'lantai hutan', meskipun lebih mirip dengan
permadani. Serasah adalah guguran segala batang, cabang, daun, ranting, bunga,
dan buah. Serasah memiliki peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu
lapisan tanah teratas yang subur. Serasah juga menjadi rumah dari serangga dan
berbagai mikro organismelain. Uniknya, para penghuni
justru memakan serasah, rumah mereka itu; menghan Semua tumbuhan dan satwa di dunia, begitupun manusia, harus menyesuaikan
diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Jika suatu jenis tumbuhan atau
satwa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik di daerah tertentu, maka
mereka akan dapat berkembang di daerah tersebut. Jika tidak, mereka justru
tersingkir dari tempat ini. Contohnya, kita menemukan pohon bakau di daerah
genangan dangkal air laut karena spesies pohon ini tahan dengan air asin dan
memiliki akar napas yang sesuai dengan sifat tanah dan iklim panas pantai.
Sebaliknya, cara berbagai tumbuhan dan satwa bertahan hidup
akan memengaruhi lingkungan fisik mereka, terutama tanah, walaupun secara
terbatas. Tumbuhan dan satwa yang berbagi tempat hidup yang sama justru lebih
banyak saling memengaruhi di antara mereka. Agar mampu bertahan hidup di
lingkungan tertentu, berbagai tumbuhan dan hewan memang harus memilih antara bersaing
dan bersekutu. Burung kuntul, misalnya, menghinggapi punggung banteng liar
untuk mendapatkan kutu sebagai makanannya. Sebaliknya, banteng liar terbantu
karena badannya terbebas dari sumber penyakit.
Jadi, hutan merupakan bentuk kehidupan yang berkembang
dengan sangat khas, rumit, dan dinamik. Pada akhirnya, cara semua penyusun
hutan saling menyesuaikan diri akan menghasilkan suatu bentuk klimaks, yaitu
suatu bentuk masyarakat tumbuhan dan satwa yang paling cocok dengan keadaan
lingkungan yang tersedia. Akibatnya, kita melihat hutan dalam beragam wujud
klimaks, misalnya: hutan sabana, hutan
meranggas, hutan hujan
tropis, dan lain-lain.
Macam-macam Hutan
Rimbawan berusaha menggolong-golongkan hutan sesuai dengan
ketampakan khas masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan manusia dalam
mengenali sifat khas hutan. Dengan mengenali betul-betul sifat sebuah hutan,
kita akan memperlakukan hutan secara lebih tepat sehingga hutan dapat lestari,
bahkan terus berkembang.
Ada berbagai jenis hutan. Pembedaan jenis-jenis hutan ini
pun bermacam-macam pula. Misalnya:
Menurut
asal
Kita mengenal hutan yang berasal dari biji,
tunas, serta campuran antara biji dan tunas.
·
Hutan yang berasal dari biji
disebut juga ‘hutan tinggi’ karena pepohonan yang tumbuh dari biji cenderung
menjadi lebih tinggi dan dapat mencapai umur lebih lanjut.
·
Hutan yang berasal dari
tunas disebut ‘hutan rendah’ dengan alasan sebaliknya.
·
Hutan campuran, oleh
karenanya, disebut ‘hutan sedang’.
Penggolongan lain menurut asal adalah
·
Hutan perawan (primer)
merupakan hutan yang masih asli dan belum pernah dibuka oleh manusia.
·
Hutan sekunder adalah hutan
yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup
luas. Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder sering terlihat lebih pendek dan
kecil. Namun jika dibiarkan tanpa gangguan untuk waktu yang panjang, kita akan
sulit membedakan hutan sekunder dari hutan primer. Di bawah kondisi yang
sesuai, hutan sekunder akan dapat pulih menjadi hutan primer setelah berusia
ratusan tahun.
Menurut cara permudaan (tumbuh kembali)
Hutan dapat dibedakan sebagai hutan dengan permudaan alami,
permudaan buatan, dan permudaan campuran. Hutan dengan permudaan alami berarti
bunga pohon diserbuk dan biji pohon tersebar bukan oleh manusia, melainkan oleh angin, air,
atau hewan.
Hutan dengan permudaan buatan berarti manusia sengaja menyerbukkan bunga serta
menyebar biji untuk menumbuhkan kembali hutan. Hutan dengan permudaan campuran
berarti campuran kedua jenis sebelumnya.
Di daerah beriklim sedang, perbungaan terjadi dalam waktu
singkat, sering tidak berlangsung setiap tahun, dan penyerbukannya lebih banyak
melalui angin. Di daerah tropis, perbungaan terjadi hampir sepanjang tahun dan
hampir setiap tahun. Sebagai pengecualian, perbungaan pohon-pohon dipterocarp (meranti) di Kalimantan dan Sumatera terjadi secara berkala. Pada tahun
tertentu, hutan meranti berbunga secara berbarengan, tetapi pada tahun-tahun
berikutnya meranti sama sekali tidak berbunga. Musim bunga hutan meranti
merupakan kesempatan emas untuk melihat biji-biji meranti yang memiliki
sepasang sayap melayang-layang terbawa angin.
Menurut susunan jenis
Berdasarkan susunan jenisnya, kita mengenal hutan sejenis
dan hutan campuran. Hutan sejenis, atau hutan murni, memiliki pepohonan yang
sebagian besar berasal dari satu jenis, walaupun ini tidak berarti hanya ada
satu jenis itu. Hutan sejenis dapat tumbuh secara alami baik karena sifat iklim
dan tanah yang sulit maupun karena jenis pohon tertentu lebih agresif.
Misalnya, hutan tusam (pinus) di Aceh dan Kerinci terbentuk karena kebakaran hutan yang
luas pernah terjadi dan hanya tusam jenis pohon yang bertahan hidup. Hutan
sejenis dapat juga merupakan hutan buatan, yaitu hanya satu atau sedikit jenis
pohon utama yang sengaja ditanam seperti itu oleh manusia, seperti dilakukan di
lahan-lahan HTI (hutan tanaman industri).
Penggolongan lain berdasarkan pada susunan jenis adalah
hutan daun jarum (konifer) dan hutan daun lebar. Hutan daun jarum (seperti
hutan cemara) umumnya terdapat di daerah beriklim dingin, sedangkan hutan daun
lebar (seperti hutan meranti) biasa ditemui di daerah tropis.
Menurut umur
Kita dapat membedakan hutan sebagai hutan seumur (kira-kira
berumur sama) dan hutan tidak seumur. Hutan alam atau hutan permudaan alam
biasanya merupakan hutan tidak seumur. Hutan tanaman boleh jadi hutan seumur
atau hutan tidak seumur.
Berdasarkan letak geografisnya:
·
hutan tropika, yakni
hutan-hutan di daerah khatulistiwa
·
hutan
temperate, hutan-hutan di daerah empat musim (antara garis lintang 23,5º - 66º).
·
hutan boreal,
hutan-hutan di daerah lingkar kutub.
Berdasarkan sifat-sifat musimannya:
·
hutan hujan (rainforest),
dengan banyak musim hujan.
·
hutan
selalu hijau (evergreen
forest)
·
hutan musim atau hutan gugur daun (deciduous
forest)
·
hutan sabana (savannah
forest), di tempat-tempat yang musim kemaraunya panjang. Dll.
hutan wisata
Berdasarkan ketinggian tempatnya:
·
hutan pantai (beach forest)
·
hutan dataran
rendah (lowland
forest)
·
hutan pegunungan
bawah (sub-mountain
forest)
·
hutan
pegunungan atas (mountain
forest)
·
hutan kabut (mist forest)
·
hutan elfin (alpine forest)
Berdasarkan keadaan tanahnya:
·
hutan
rawa air-tawar atau
hutan rawa (freshwater swamp-forest)
·
hutan
rawa gambut (peat
swamp-forest)
·
hutan rawa bakau, atau hutan bakau (mangrove
forest)
·
hutan
kerangas (heath
forest)
·
hutan
tanah kapur (limestone
forest), dan lainnya
Berdasarkan jenis pohon yang dominan:
·
hutan jati (teak
forest), misalnya di Jawa Timur.
·
hutan pinus (pine forest), di Aceh.
·
hutan
dipterokarpa (dipterocarp
forest), di Sumatra dan Kalimantan.
·
hutan
ekaliptus (eucalyptus
forest) di Nusa Tenggara. Dll.
Berdasarkan sifat-sifat pembuatannya:
·
hutan alam (natural
forest)
·
hutan buatan (man-made
forest), misalnya:
·
hutan rakyat (community
forest)
·
hutan kota (urban
forest)
·
hutan tanaman
industri (timber
estates atau timber plantation) Dll.
Hutan Kota di Singapura
Berdasarkan tujuan pengelolaannya:
·
hutan produksi, yang
dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun hasil
hutan bukan kayu (non-timber
forest product)
·
hutan lindung, dikelola untuk melindungi tanah
dan tata air
·
hutan suaka alam, dikelola untuk melindungi
kekayaan keanekaragaman
hayati atau keindahan
alam
·
hutan konversi, yakni hutan
yang dicadangkan untuk penggunaan lain, dapat dikonversi untuk pengelolaan
non-kehutanan.
Lereng gunung Arjuna di wilayah Sumberawan, kecamatan
Singosari,kabupaten Malang
Dalam kenyataannya, seringkali beberapa faktor pembeda itu
bergabung, dan membangun sifat-sifat hutan yang khas. Misalnya, hutan hujan
tropika dataran rendah (lowland tropical rainforest),
atau hutan dipterokarpa perbukitan (hilly dipterocarp forest).
Hutan-hutan rakyat, kerap dibangun dalam bentuk campuran antara tanaman-tanaman
kehutanan dengan tanaman pertanian jangka pendek, sehingga disebut dengan
istilah wanatani atau agroforest.
Jenis-jenis hutan di Indonesia
Berdasarkan biogeografi
Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari
proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng
bumi itu masih terus saling mendekat. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering
terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk
khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan
Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah
cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik
buminya.
·
Kawasan Paparan Sunda
(di bagian barat)
Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari
Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu
garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih
timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi,
serta antara Balidan Lombok.
Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858,
memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan
Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.
·
Kawasan Paparan Sahul
(di bagian timur)
Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari
Kawasan Australesia (Benua Australia) dan
berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal
pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia.
Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antaraNusa Tenggara
Timur dan Australia.
Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang,
sekitar 1902,
memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan
yang ada di Benua Australia.
·
Kawasan Wallace / Laut
Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela
Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda
Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak
merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak
ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini juga memiliki
unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace
berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman
Essehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat
menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Walaupun jenis flora fauna Asia tetap
lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis flora fauna Australia di bagian
timur, hal ini dikarenakan Kawasan Wallace dulu merupakan palung laut yang sangat dalam sehingga fauna sukar
untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.
Terestrial (darat)
Penentuan zona dalam
ekosistem terestrial ditentukan oleh temperatur dan curah hujan.[2] Ekosistem terestrial dapat dikontrol oleh
iklim dan gangguan.[2] Iklim sangat penting untuk menentukan
mengapa suatu ekosistem terestrial berada pada suatu tempat tertentu.[2] Pola ekosistem dapat berubah akibat
gangguan seperti petir, kebakaran, atau
aktivitas manusia.[2]
Hutan hujan tropis
terdapat di daerah tropik dan subtropik.[5] Ciri-cirinya adalah curah hujan 200-225 cm
per tahun.[5] Spesies pepohonan relatif banyak, jenisnya
berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak
geografisnya.[5] Tinggi pohon utama antara 20-40 m,
cabang-cabang pohon tinggi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi).[5] Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim
mikro, yaitu iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme.[5] Daerah tudung cukup mendapat sinar
matahari, variasi suhu dan kelembapan tinggi, suhu sepanjang hari sekitar
25 °C.[5] Dalam hutan hujan tropis sering terdapat
tumbuhan khas, yaitu liana (rotan) dan anggrek sebagai epifit.[5]Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.[5]
Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropik
dan subtropik.
Ciri-cirinya adalah :
1. Curah hujan 200-225 cm per tahun.
2. 2.Spesies pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara
satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya.
3. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinggi
dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi).
4. Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro, yaitu iklim
yang langsung terdapat di sekitar organisme.
5. Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari, variasi suhu dan
kelembapan tinggi, suhu sepanjang hari sekitar 25 °C.
6. Dalam hutan hujan tropis sering terdapat tumbuhan khas, yaitu
liana (rotan) dan anggrek sebagai epifit.
7. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan,
harimau, dan burung hantu. pohonnya heterogen.
8. Keanekaragaman tinggi:terdapat keanekaragaman hayati yg
sangat tinggi.
9. Tanaman yg Dominan Liana (merambat) , ex: rotan
Epifit (menempel),ex:Anggrek
10. Curah Hujan Tinggi(setiap tahun curah hujan tinggi).
11. Porositas dan drainase baik:Air diserap baik oleh tumbuhan.
12. Penutupan Kanopi rapat : karena pohon-pohon menjulang tinggi
untuk mendapat cahaya matahari.
13. Curah
hujan bioma hutan hujan tropis cukup tinggi, yatu sekitar 200-225 cm per tahun.
14. Tumbuhannya
tinggi dan rimbun membentuk tudung yang menyebabkan dasar hutan menjadi gelap
dan basah.
15. Tumbuhan
khas, ialah liana dan epifit. Contoh liana adalah rotan sedangkan epifit adalah
anggrek.
16. Vegetasinya
didominasi oleh tumbuhan yang aktif melakukan fotosintesis, misalnya jati,
meranti, konifer, dan keruing.
17. Hewannya
didominasi oleh aneka kera, babi hutan, burung, kucing hutan, bajing dan
harimau.
1. Ekosistem Hutan Hujan Tropis
18. Hutan Hujan Tropis
adalah suatu masyarakat kompleks merupakan tempat yang menyediakan pohon dari
berbagai ukuran. Dalam buku ini istilah kanopi hutan digunakan sebagai suatu
yang umum untuk menjelaskan masyarakat tumbuhan keseluruhan di atas bumi. Di
dalam kanopi iklim micro berbeda dengan diluarnya; cahaya lebih sedikit,
kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Banyak dari pohon yang
lebih kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar di dalam iklim
mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di atas bentuk pohon dan dalam iklim mikro
dari cakupan pertumbuhan kanopi dari berbagai jenis tumbuhan lain: pemanjat, epiphytes,
mencekik, tanaman benalu, dan saprophytes.
19. Pohon dan kebanyakan
dari tumbuhan lain berakar pada tanah dan menyerap unsur hara dan air.
Daun-Daun yang gugur, Ranting, Cabang, dan bagian lain yang tersedia; makanan
untuk sejumlah inang hewan invertebrata, yang penting seperti rayap, juga untuk
jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari
bagian yang jatuh dan dengan pencucian dari daun-daun oleh air hujan. Ini
merupakan ciri hutan hujan tropis yang kebanyakan dari gudang unsur hara total
ada dalam tumbuhan; secara relatif kecil di simpan dalam tanah.
20. Di dalam kanopi hutan,
terutama di hutan dataran rendah, disana hidup binatang dengan cakupan luas,
hewan veterbrata dan invertebrata, beberapa yang makan bagian tumbuhan, yang
memakan hewan. Hubungan timbal balik kompleks ada antara tumbuhan dan binatang,
sebagai contoh, dalam hubungan dengan penyerbukan bunga dan penyebaran biji.
Beberapa tumbuhan, yang disebut myrmecophytes, menyediakan tempat perlindungan
untuk semut di dalam organ yang dimodifikasi. Banyak tumbuhan, menghasilkan
bahan-kimia yang berbisa bagi banyak serangga dan cara ini untuk perlindungan
diri dari pemangsaan.
21. Keseluruhan masyarakat organik dan
lingkungan phisik dan kimianya bersama-sama menyusun dasar ekosistem pada hutan
hujan tropis. Jika bagian dari hutan menjadi rusak, tumbuhan (dan satwa)
terbukanya gap, yang lain menyerbu dengan persaingan; ada suatu suksesi
sekunder dari komunitas tumbuhan seral, hingga dengan cepat suatu masyarakat
yang serupa menjadi asli seperti semula. Ini disebut “Klimaks”.
2. Synusiae
22. Suatu synusia adalah
suatu kelompok tumbuhan dari bentuk hidup yang serupa mengisi relung yang sama
dan berperan serupa di dalam komunitas dimana bentuknya terpisah (Richards
1952); Ini merupakan suatu bentuk hidup komunitas terpisah.
23. Synusiae menyediakan
suatu bahan untuk menganalisa masyarakat tumbuhan yang kompleks. Richards
(1952) telah memperkenalkan suatu penggolongan yang praktis untuk synusiae
hutan hujan tropis:
A. Tumbuhan Autotrophic (dengan butir hijau daun)
A. Tumbuhan Autotrophic (dengan butir hijau daun)
1. Tumbuhan
Independent Mekanis
(a)
pohon dan treelets; ( b) herba.
2. Tumbuhan Dependent
Mekanis
(a)
pemanjat; ( b) para pencekik; ( c) epiphytes ( termasuk semi-parasitic epiphytes).
B. Tumbuhan
Heterotrophic (tanpa butir hijau daun).
1. Saprophytes.
2. Parasites.
24. Jenis sangat berbeda
hubungan taxonomic menyusun synusiae. Seperti halnya yang dipunyai bentuk hidup
umum, banyak juga mempunyai physiognomy yang sangat serupa. Penyajian yang
relatif ttg kelompok ekologis berbeda dalam berbagai Formasi hutan hujan tropis
adalah penting definisi mereka. Mereka adalah mewakili seluruh hutan hujan
dataran rendah yang hijau tropis. Synusiae terjadi sepanjang daerah tropis di
mana saja Formasi ditemukan.
3. Siklus Pertumbuhan Hutan
25. Pohon ada yang mati
dan secepatnya mati disebabkan umur yang tua, biasanya dari ujung cabang
memutar kembali kepada tajuk, sedemikian sehingga spesimen hampir mati tua
(`overmature' di dalam bahasa rimbawan) adalah ‘‘stagheaded'', dengan
dahan lebat yang diarahkan oleh hilangnya anggota yang semakin langsing; lubang
biasanya berongga pada tingkat ini. Gugur tajuk ke bawah adalah bagiannya, dan
secepatnya batang dan musim gugur potongan dahan sisanya, sering menyurut oleh
suatu hembusan keras badai yang diawali dengan angin. Alternatif batang
terpisah sebagai kolom berdiri. Banyak pohon tidak pernah menjangkau tingkat
lanjut seperti itu tetapi diserang mati oleh kilat atau turun satu demi satu
atau di dalam kelompok pada kedewasaan utama mereka atau lebih awal. Rimbawan
mencoba untuk memanen suatu pohon baik sebelum umur tua hampir matinya.
Kematian dari suatu pohon individu atau suatu kelompok menghasilkan suatu gap di dalam kanopi hutan yang memungkinkan pohon lain tumbuh. Ini pada gilirannya menjangkau kedewasaan dan barangkali senescence; kemudian mati. Kanopi Hutan, secara terus menerus mengganti pohon tumbuh dan mati. Ini merupakan suatu kesatuan hidup dalam keadaan keseimbangan dinamis. Itu menyenangkan untuk diteliti pertumbuhan ini siklus kanopi ke dalam tiga fasa: tahap gap, membangun tahap, dan tahap dewasa ( cf. Watt 1947).
Kematian dari suatu pohon individu atau suatu kelompok menghasilkan suatu gap di dalam kanopi hutan yang memungkinkan pohon lain tumbuh. Ini pada gilirannya menjangkau kedewasaan dan barangkali senescence; kemudian mati. Kanopi Hutan, secara terus menerus mengganti pohon tumbuh dan mati. Ini merupakan suatu kesatuan hidup dalam keadaan keseimbangan dinamis. Itu menyenangkan untuk diteliti pertumbuhan ini siklus kanopi ke dalam tiga fasa: tahap gap, membangun tahap, dan tahap dewasa ( cf. Watt 1947).
26. Tingkat dan pengaturan
dari tahap ini berbeda dari hutan ke hutan, sebagian besar berbeda sebab faktor
yang menyebabkan kematian. Di Hutan Hujan Dipterocarpaceae selalu hijau pada
Malaya Tengah, suatu daerah dimana gap kecil merupakan hal yang biasa terjadi. Jumlah
materi tumbuhan baru memproduksi per unit area per unit waktu, yang dapat
disebut netto produktivitas primer hutan, berbeda antara tiap tahapan. Tahap
gap yang rendah, meningkat ke suatu maksimum di dalam tahap pertumbuhan, dan
merosot sepanjang tahap dewasa ( cf. Watt 1947).
4. Stratifikasi
27. Hutan sering dianggap
menjadi lapisan atau strata dan formasi hutan berbeda untuk mendapatkan jumlah
strata berbeda & Strata ( Lapisan, atau tingkat) sering mudah dilihat dalam
hutan atau pada suatu diagram profil, tetapi kadang tidak dapat.
Mungkin pemakaian umum istilah stratifikasi untuk mengacu pada lapisan total tingginya pohon, yang kadang-kadang diambil seperti lapisan tajuk pohon. Pandangan yang klasik lapisan pohon yang selalu hijau dataran rendah tropis hutan hujan adalah bahwa ada lima strata, A-E. Lapisan A merupakan lapisan paling tinggi pohon yang paling besar yang biasanya berdiri seperti terisolasi atau kelompok yang muncul kepala dan bahu, di atas berlanjut lapisan B, kanopi yang utama. Di bawah B adalah suatu tingkat pohon lebih rendah, Lapisan C ditunjukan bergabung dalam B kecuali pada dua poin-poin dekat akhir. Lapisan D adalah berhutan treelets dan lapisan E forest-floor tumbuh-tumbuhan herba dan semaian bibit kecil. Bersama-Sama ini lima lapisan menjadi anggota synusiae dari tumbuhan autotrophic independent mekanis. Dihubungkan dengan Lapisan struktural ini, sering kasus yang di dalam strata yang lebih rendah tajuk pohon kebanyakan lebih tinggi dari lebar, dan sebaliknya.
Mungkin pemakaian umum istilah stratifikasi untuk mengacu pada lapisan total tingginya pohon, yang kadang-kadang diambil seperti lapisan tajuk pohon. Pandangan yang klasik lapisan pohon yang selalu hijau dataran rendah tropis hutan hujan adalah bahwa ada lima strata, A-E. Lapisan A merupakan lapisan paling tinggi pohon yang paling besar yang biasanya berdiri seperti terisolasi atau kelompok yang muncul kepala dan bahu, di atas berlanjut lapisan B, kanopi yang utama. Di bawah B adalah suatu tingkat pohon lebih rendah, Lapisan C ditunjukan bergabung dalam B kecuali pada dua poin-poin dekat akhir. Lapisan D adalah berhutan treelets dan lapisan E forest-floor tumbuh-tumbuhan herba dan semaian bibit kecil. Bersama-Sama ini lima lapisan menjadi anggota synusiae dari tumbuhan autotrophic independent mekanis. Dihubungkan dengan Lapisan struktural ini, sering kasus yang di dalam strata yang lebih rendah tajuk pohon kebanyakan lebih tinggi dari lebar, dan sebaliknya.
28. Konsep struktural
lapisan kelihatan hilang pada alam yang dinamis dari kanopi hutan hujan,
kenyataannya yang tumbuh dalam ditambah sejak semula. Penambalan pada berbagai
ukuran adalah tahap beragam siklum pertumbuhan hutan.
29. Lapisan bentuk tajuk
berhubungan dengan pertumbuhan pohon. Pohon muda masih bertumbuh tingginya
lingkar hampir selalu monopodial, dengan batang tunggal (ada beberapa
perkecualian, sebagai contoh Alstonia), dan tajuk pada umumnya
sempit dan jangkung. Pohon Dewasa kebanyakan jenis adalah sympodial, tanpa
batang pusat tunggal, dan beberapa dahan melanjut untuk tumbuh menambah lebar
tajuk setelah dewasa tingginya telah dicapai; paling pada umumnya, sympodial
tajuk lebih luas dibanding mereka adalah dalam, terus meningkat sangat dengan
meningkatnya umur pohon. Pohon lebih pendek belum dewasa dibanding yang tinggi.
Lapisan bentuk tajuk begitu sangat diharapkan.
30. Pertumbuhan Tinggi
kebanyakan jenis pohon menjadi sempurna ketika hanya antara sepertiga dan
setengah mencapai lubang diameter akhir. Diikuti daun-daunan akan cenderung
untuk dipusatkan berlapis-lapis di mana suatu jenis atau suatu kelompok jenis
dari dewasa serupa tingginya mendominasi suatu posisi, sebagai contoh, di dalam
hutan dipterocarp.
31. Lapisan struktural
kadang-kadang kelihatan pada diagram profil atau di dalam hutan dan jumlah dan
tingginya lapisan akan tergantung pada tahap atau mewakili tahap siklus
pertumbuhan. Tiga lapisan pohon di dalam pohon hutan hujan tropis yang selalu
hijau dataran rendah adalah suatu yang abstrak menyenangkan menghadirkan status
yang umum bangunan dan tahap dewasa mempertimbangkan bersama-sama. Tetapi
pengambilan data dari suatu area tanpa memperhatikan langkah-langkah yang
phasic akan pada umumnya mengaburkan keberadaan lapisan, kecuali Hutan dengan
sedikit jenis atau kelompok yang mendewasakan pada kemuliaan berbeda.
32. Penggunaan lain dari
konsep stratifikasi pada ketinggian dimana jenis pohon tertentu atau bahkan
keluarga-keluarga biasanya dewasa. Sebagai contoh, di Malaya muncul atau yang
paling atas lak terdiri kebanyakan kelompok Dipterocarpaceae dan Leguminosae.
Tentang Dipterocarpaceae,Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Shorea menyediakan
banyak yang muncul dan sebagai pembanding Hopea dan Vatica pohon yang kecil
yang B dan C lapisan. Hanya sedikit dari 53 jenis Leguminosae Pohon
didalam Malaya adalah umum seperti muncul, terutama jenis Dialium,
Koompassia, dan Sindora ( Whitmore 1972d). Hutan hujan dataran rendah selalu
hijau Dipterocarp pada umumnya puncak kanopi pada 45 m, dan
umumnya pohon individu mencapai tinggi 60 m. Pohon paling tinggi dicatat
adalah Kompassia Excelsa ( 80'72 m Malaya, 83'82 m. Sarawak;
Gambar. 4.2, p. 54) dan Dryobalanops aaromatica 67'1 m (
Foxworthy 1926). Timur Pilipina dipterocarps hanya di tempat
penting dan kanopi lebih rendah, sebagai contoh, Vitex cofassus Pometia pinnata
di dalam Hutan dataran rendah Bougainville pada umumnya 30- 35 m tinggi dengan
muncul tersebar sampai 39 m ( Heyligers 1967).
33. Burseraceae dan
Sapotaceae berlimpah-limpah pada lapisan kanopi utama di barat Malesia dan
lapisan puncak kanopi di timur Malesia. Pada daerah yang luas ini tingkat
umumnya dikatakan lapisan C atau lapisan pohon bawah berisi kebanyakan jenis
dua famili pohon paling besar, Euphorbiaceae dan Rubiaceae,
dan banyak Annonaceae, Lauraceae, dan Myristicaceae, di
antara yang lain.
34. Pohon yang mencapai
puncak kanopi terlihat ke atmospir eksternal, sangat trerisolasi, temperatur
tinggi, dan pergerakan angin harus dipertimbangkan, dan harus yang sesuai
diadaptasikan secara fisiologis. Di dalam kanopi microclimate sungguh berbeda,
seperti telah digambarkan di pendahuluan pada bab ini dan dilanjutkan yang
berikutnya. Mengikutinya mungkin salah satu yang dikenali dari dua kelompok yang
berbeda jenis, menyesuaikan untuk diatur dua kondisi-kondisi ini; dan menarik
seluruh jenis itu, atau bahkan seluruh familinya, memanfaatkan satu situasi
atau yang lain. Jenis yang tumbuh dibawah naungan tetapi mencapai puncak dari
kanopi pada tingkat dewasa dengan hidup di dua lingkungan sangat berbeda pada
tahap berbeda dalam hidup, dan mungkin berubah secara fisiologis, meskipun
demikian data eksperimen masih sebagian besar kekurangan.
5. Bentuk Pohon
35. Pohon adalah bentuk
hidup yang utama pada hutan hujan. Bahkan tumbuhan bawah sebagian besar terdiri
dari tambuhan berkayu bergentuk pohon berhutan; semak belukar yang terlihat
jarang, meskipun demikian lapisan D sering dengan bebas disebut “lapisan semak
belukar”
6. Tajuk
36.
37. Aspek yang paling
penting dari bentuk pohon untuk rimbawan yang disebut dalam bagian yang
sebelumnya, adalah perbedaan antara konstruksi tajuk monopodial dan sympodial.
Kebanyakan jenis berubah ke bentuk tajuk sympodial ketika mereka dewasa tetapi
beberapa mempertahankan bentuk tajuk monopodial sepanjang seluruh hidup,
sebagai contoh, semua Annonaceae dan Myristicaceae di hutan tropis timur jauh,
ini umum terjadi di antara jenis pohon kecil berkembang di dalam kanopi.
Rimbawan tertarik dengan volume kayu yang meningkat per area, dan pohon-pohon
monopodial dengan karakteristik tajuk yang sempit, merupakan subyek yang lebih
baik dalam penanaman dibandingkan jenis sympodial. Ini merupakan salah satu
alasan mengapa conifer yang akan ditanam pada tropika basah yang memiliki daya
tarik lebih untuk diperhatikan, khusunya Pinus spp tropis, dan
Araucaria dan mengapa Shorea spp dari kelompok
Dipterocarpaceae kayu Meranti Merah Terang dan jenis cepat tumbuh lainnya,
jenis yang memerlukan cahaya, jenis kayu keras asli setempat, sepertiAlbizia
falcata, Campnosperma, Endospernum dan Octomeles,
memiliki perhatian yang terbatas.
38. Tajuk pohon memiliki
konstruksi yang tepat. Faktor utama yang menentukan bentuk tajuk adalah
pertumbuhan apical versus lateral, meristem radial simetrik versus
bilateral simetrik, berselang–seling dan berirama versus pertumbuhan berlanjut
dari tunas dan daun atau bunga. Kombinasi faktor-faktor ini hanya memberikan
pembatasan jumlah total dari model yang mungkin dari konstruksi tajuk.
Arsitektur pohon tidak berkorelasi baik dengan taksonomi, beberapa famili kaya
akan model, contohnya Euphorbiaceae dan yang lain miskin, contohnyaMyristicaceae.
7. Batang Pohon
39. Untuk mengamati bentuk
batang pohon di atas lantai hutan selalu lebih kurang seperti tiang, sedikitnya
sampai bagian yang paling rendah, dan ia merasakan seolah-olah di dalam suatu
katedral beratap hijau. Sesungguhnya ada beberapa yang pada umumnya dapat
dibandingkan dengan lilin yang kecil, dapat dilihat pada pohon yang di tebang
dan kelebihannya harus dibuat ketika membuat tabel volume untuk tujuan
kehutanan.
8. Banir
40. Tinggi Banir,
menyebar, bentuk permukaan dan ketebalan biasanya tetap di dalam suatu jenis
dan oleh karena itu, seperti bentuk tajuk penunjang adalah penuntun untuk
identifikasi hutan. Ada sedikit bukti yang ganjil untuk menilai kebenaran atau
jika tidak menyangkut penyamarataan yang umum bahwa pohon dengan akar ketukan
dalam tidak membentuk penunjang, dan sebaliknya.
9. Kulit Batang
41. Sesuatu kekeliruan
umum bahwa semua atau sebagian pohon hutan memiliki kulit batang yang pucat,
tipis dan licin. Ini jauh dari kenyataan, hutan hujan kaya dengan warna dan
bayangan dari hitam (Dyospiros) sampai putih (Tristania), sampai warna
coklat terang (Eugenia). Kecuali batang-batang pohon yang mengarah
keluar iklim mikro hutan, seperti pohon yang dalam proses terisolasi dan pada
pinggiran hutan, memiliki warna yang seragam yaitu abu-abu pucat. Sapihan dan
tiang yang kecil memiliki kulit batang yang tipis dan lembut. Batang pohon
dengan diameter di atas 0.9 m memperlihatkan suatu keaneka ragaman bentuk
permukaan, secara kasar seperti bercelah, bersisik, atau “dippled”, dan
beberapa licin. Setelah daun, karakteristik permukaan kulit batang dan
penampilannya menjadi bantuan yang paling utama ke pengenalan jenis hutan dan
mungkin punya arti untuk taksonomi. Beberapa famili homogen kulit batangnya dan
yang lain menunjukkan pola gamut.
10. Bunga
42. Biasanya bunga
berkembang berhubungan dengan batang (Cauliflory) atau cabang (ramiflory)
bervariasi antara formasi hutan hujan tropis yang berbeda.Cauliflory adalah
paling umum di hutan hujan tropis dataran rendah yang selalu hijau dan
berkurang sehubungan dengan pertambahan tinggi tempat.
11. Akar
43. Suatu Pertumbuhan,
memperbaharui minat akan sistem akar pohon hutan hujan tropis dengan pengembangan
studi dalam produktivitas dan siklus hara.. Seperti kebanyakan kasus,
kebanyakan akar ditengah hutan hujan ditemukan sampai pada 0.3 m atau kira-kira
pada tanah. Banyak pohon yang sistem perakarannya dangkal dengan tidak menembus
terlalu dalam semuanya. Beberapa, mungkin sedikit, mempunyai akar ketukan
dalam, tetapi oleh karena; berhubungan dengan berbagai kesulitan dalam
pelaksanaannya maka sistem perakaran sangat sedikit dipelajari. Nye dan
Greenland (1960) sudah memberi perhatian pada peran penting akar secara relatif
, beberapa menembus ke kedalaman tertentu untuk mengambil hara mineral dari
pelapukan partikel batuan atau horizon alluvial, di samping peran mereka sebagi
penstabil dan jangkar. Sesungguhnya sangat sukar untuk mengetahui akar mana yang
sangat bagus dan merupakan ciri hidup mereka. Komponen ini kemudian biasanya
diremehkan, meskipun demikian esuatu yang sangat substansial dalah menegtahui
jumlah biomassa akar. Biomassa akar merupakan urutan kesepuluh dari total
biomassa dari dua hutan yang dipelajari. Hal ini merupakan alasan yang dapat
dipercaya menagapa akar terkonsentarsi di permukaan karena hara inorganik
terbentuk di sana sebagai hasil dekomposisi sisa-sisa bagian tumbuhan yang
jatuh dan hewan yang mati.
12. Epifit, pemanjat dan pencekik
45. Epifit dan pemanjat
dibuat stratifikasi. Di dalam masing-masing synusia dua kelompok utama dapat
dikenali, suatu photophytic atau kelompok yang memerlukan matahari ,
menyesuaikan diri secara morfologi maupun fisiologi dengan iklim mikro dari kanopi
hutan, dan skiophytic atau kelompok yang memerlukan keteduhan, menyesuaikan
diri dengan daerah yang lebih dingin, lebih gelap dan lebih lembab pada iklim
mikro dari kanopi hutan, meskipun demikian perbdaan ini tidak pernah absolut.
13. Epifit
46. Epifit tajuk pohon
seperti kebanyakan anggrek dan Ericaceae. Dalam hutan hujan tropika banyak tumbuh golongan
epifit yang jumlahnya kurang lebih 10% dari pohon-pohon dalam hutan hujan
(Richards, 1952). Epifit adalah semua tumbuh-tumbuhan yang menempel dan tumbuh di
atas tanaman lain untuk mendapatkan sinar matahari dan air. Akan tetapi epifit
bukanlah parasit. Epifit bahkan menyediakan tempat tumbuh bagi hewanhewan
tertentu seperti semut-semut pohon dan memainkan peranan penting dalam
ekosistem hutan. Sebagian besar tanaman ini (seperti lumut, ganggang, anggrek,
dan paku-pakuan) tingkat hidupnya rendah dan bahkan lebih senang hidup di atas
tumbuhtumbuhan lain daripada tumbuh sendiri.
14. Pemanjat
47. Banyak pemanjat yang
menjangkau puncak kanopi mempunyai bentuk tajuk, dan sering juga ukuran, dari
tajuk pohon. Pemanjat biasanya dengan bebas menggantung pada batang pohon, dan
dapat berubah menjadi pemanjat berkayu besar. Mereka diwakili oleh banyak
famili tumbuhan. Semua kecuali dua jenis dicurigai Gymnosperm Gnetum adalah
pemanjat berkayu besar. Di antara pemanjat berkayu besar yang paling umum
adalah Annonaceae. Palm yang menjadi pemanjat, rotan, adalah kelas penting
lainnya dari pemanjat berkayu besar yang merupakan corak hutan hujan.
48. Pemanjat berkayu
paling besar adalah photophytes dan tumbuh prolifically di
dalam pembukaan hutan dan pinggiran hutan, menimbulkan dongeng yang populer
rimba raya tebal yang tak dapat tembus. Mereka bertumbuh dalam gap dan tumbuh
dengan tajuk pada pohon muda, maka akan ikut dengan bertumbuh tingginya
penggantian kanopi. Mereka juga bertumbuh setelah operasi penebangan dan boleh
membuktikan suatu rintangan serius kepada pertumbuhan suatu hutan
15. Pencekik
49. Para pencekik adalah
tumbuhan yang memulai hidupnya sebagai epifit dan menurunkan akar ke tanah dan
meningkat dalam jumlah dan ukuran dan bertahan di bawah tekanan dan akhirnya
dapat membungkus pohon yang menjadi tuannya sehingga sering pohon itu kemudian
mati. Contoh pencekik adalah Schefflera, Fagraea, Timonius, Spondias
dan Wightia.
Formasi ekosistem hutan terjadi akibat
pengaruh faktor lingkungan yang dominan terhadap pembentukan dan perkembangan
komunitas dalam ekosistem hutan. Pengelompokan formasi hutan didasari oleh
paham klimaks, yaitu komunitas akhir yang terjadi selama proses suksesi. Paham
klimaks berkaitan dengan adaptasi tumbuh-tumbuhan secara keseluruhan mencakup
segi fisiologis, morfologis, syarat pertumbuhan, dan bentuk tumbuhnya, sehingga
kondisi ekstrem dari pengaruh iklim dan tanah akan menyebabkan efek adaptasi
pohon serta tumbuh-tumbuhan lainnya menjadi nyata. Hal tersebut akan
berpengaruh terhadap bentuk susunan ekosistem hutan (formasi hutan).
Berdasarkan atas faktor lingkungan yang memiliki pengaruh dominan terhadap bentuk susunan komunitas atau ekosistem hutan, maka ekosistem hutan dikelompokkan ke dalam dua formasi, yaitu formasi klimafis dan formasi edafis. Formasi klimatis disebut juga formasi klimaks iklim, sedangkan formasi edafis disebut juga formasi klimaks edafis. Pengertian dari masing-masing formasi adalah sebagai berikut.
1. Formasi klimatis
adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh
unsur-unsur iklim, misalnya temperatur, kelembapan udara, intensitas cahaya,
dan angin. Ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis, yaitu hutan
hujan tropis, hutan musim, dan hutan gambut (Santoso,1996; Direktorat Jenderal
Kehutanan, 1976). Menurut Schimper (1903 dalam Arief, 1994), ekosistem hutan
yang termasuk ke dalam formasi klimatis, yailu hutan hujan tropis, hutan musim,
hutan sabana, hutan duri, hutan hujan subtropis, hutan hujan temperate, hutan
konifer, dan hutan pegunungan. Menurul Davy (1938 dalam Arief,1994),
hutan-hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis adalah hutan hujan tropis,
hutan semi hujan, hutan musim, hutan pegunungan atau hutan temperate, hutan
konifer, hutan bambu atau hutan Gramineae berkayu, dan hutan Alpine.
2. Formasi edafis adalah
formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah,
misalnya sifat-sifat fisika, sifat kimia, dan sifat biologi tanah, serta
kelembapan tanah. Ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi edafis, yaitu
hutan rawa, hutan payau, dan hutan pantai. Schimper, 1903 dalam Arief, 1994
menyebutkan hutan-hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis mencakup hutan
tepian, hutan rawa, hutan pantai, dan hutan mangrove. Menurut Davy (1938 dalam
Arief, 1994) yang termasuk ke dalam kelompok formasi edafis, yaitu hutan
riparian, hutan rawa, hutan mangrove, hutan pantai, hutan kering selalu hijau,
hutan sabana, hutan palma atau hutan nipah, dan hutan duri. Hutan riparian (riparian
forest)dianggap sebagai subtipe hutan hujan tropis, sedangkan hutan nipah (nipha
forest)sering dianggap sebagai konsosiasi dari hutan payau atau hutan rawa;
bergantung kepada faktor edafisnya.
Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah
beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan
perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun,
Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:
·
Daerah tipe iklim A
(sangat basah) yang puncak musim
hujannya jatuh antara Oktober dan Januari,
kadang hingga Februari.
Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
·
Daerah tipe iklim B
(basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September
sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi;
Maluku; sebagian besar Papua.
·
Daerah tipe iklim C
(agak kering) yang lebih sedikit
jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini
mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara;
bagian paling ujung selatan Papua.
Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan
gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.
Hutan gambut ada di daerah
tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan
sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini
menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan
Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili
Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan
Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae,
Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya
adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
Hutan muson tumbuh di
daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian
Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis),
walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba),
cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).
Sumber :
Langganan:
Postingan (Atom)