Private
Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment,
Research and Development Agency
Samosir
Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA
BELAJAR
TENTANG IZIN LINGKUNGAN, PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH, KEGIATAN PENEBANGAN HUTAN
SECARA LIAR, PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL DARI KEGIATAN PENEBANGAN HUTAN SECARA
LIAR, AUDIT LINGKUNGAN DAN SANKSI PIDANA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Berikut
merupakan inspirasi Penulis yang dituangkan di dalam tulisan disusun dari
beragam sumber literatur.
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, menegaskan
bahwa Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin
Usaha dan/atau Kegiatan.
Beberapa
Hal yang termasuk ke dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
sebagai berikut :
Perubahan Penggunaan Tanah
Dalam
Perubahan Penggunaan Tanah menegaskan beberapa pertimbangan dan Pedoman, antara
lain :
1. Pertimbangan
Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi adalah pertimbangan yang memuat
ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagai dasar penerbitan
Izin Lokasi yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang
diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin
pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha
penanaman modalnya.
2. Pertimbangan
Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Penetapan Lokasi adalah pertimbangan yang
memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagai dasar
pemberian keputusan penetapan lokasi tanah yang akan digunakan untuk
pembangunan bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
3. Pertimbangan
Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Perubahan Penggunaan Tanah adalah
pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah,
sebagai dasar pemberian izin kepada pemohon untuk melakukan perubahan
penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.
Pedoman
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi
dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah harus terselenggara dengan ketentuan:
a.
tidak boleh mengorbankan kepentingan umum;
b.
tidak boleh saling mengganggu penggunaan tanah sekitarnya;
c.
memenuhi azas keberlanjutan;
d.
memperhatikan azas keadilan; dan
e. memenuhi ketentuan peraturan perundangan.
Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan Hidup (dan penjabaran
lainnya sesuai peraturan perundangundangan) tanpa ada Izin Lingkungan dapat
dikategorikan Tindakan Penebangan Kayu secara liar (Illegal Logging).
Penebangan kayu secara liar (illegal logging) tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah manajemen hutan untuk menjamin kelestarian sumber
daya hutan telah menyebabkan berbagai dampak negatif dalam berbagai aspek,
Kerugian akibat penebangan liar memiliki dimensi yang luas tidak saja terhadap
masalah ekonomi, tetapi juga terhadap masalah sosial, budaya, politik dan
lingkungan.
Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah
mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Berbagai sumber
menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh illegal logging ,
mencapai Rp.30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat penebangan
liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya
DR dan PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti
hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan
(opprotunity cost). Sebenarnya pendapatan yang diperoleh masyarakat (penebang,
penyarad) dari kegiatan penebangan liar adalah sangat kecil karena porsi
pendapatan terbesar dipetik oleh para penyandang dana (cukong). Tak hanya itu,
illegal logging juga mengakibatkan timbulnya berbagai anomali di sektor
kehutanan. Salah satu anomali terburuk sebagai akibat maraknya illegal logging
adalah ancaman proses deindustrialisasi sektor kehutanan. Artinya, sektor
kehutanan nasional yang secara konseptual bersifat berkelanjutan karena ditopang
oleh sumber daya alam yang bersifat terbaharui yang ditulang punggungi oleh
aktivitas pengusahaan hutan disektor hulu dan industrialisasi kehutanan di
sektor hilir kini tengah berada di ambang kehancuran.
Dari segi sosial budaya dapat dilihat munculnya sikap kurang
bertanggung jawab yang dikarenakan adanya perubahan nilai dimana masyarakat
pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah serta antara
baik dan buruk. Hal tersebut disebabkan telah lamanya hukum tidak ditegakkan
ataupun kalau ditegakkan, sering hanya menyentuh sasaran yang salah. Perubahan
nilai ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang
besar.
Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya
sejumlah tertentu pohon sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang
berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya
produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu
spesies termasuk fauna langka. Kemampuan tegakan(pohon) pada saat masih hidup
dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat
bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya
tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya struktur dan
komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan
yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukanya yang berakibat pada
berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman
langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya
menjadi tidak berfungsi lagi. Dampak yang lebih parah lagi adalah kerusakan
sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen
hutan dapat mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke keadaan semula
menjadi tidak mungkin lagi (irreversible).
Dampak Penebangan Liar
Kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan tidak hanya
kerusakan secara nilai ekonomi, akan tetapi juga mengakibatkan hilangnya nyawa
yang tidak ternilai harganya. Adapun dampak-dampak Illegal Logging sebagai
berikut.
1. Semakin berkurangnya lapisan tanah yang subur.
Lapisan tanah yang subur sering terbawa arus banjir yang
melanda Indonesia. Akibatnya tanah yang subur semakin berkurang. Jadi secara
tidak langsung Illegal Logging juga menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang
subur di daerah pegunungan dan daerah sekitar hutan.
2. Longsor dan Banjir di berbagai wilayah
Banjir dan tanah longsor di Indonesia telah memakan korban
harta dan jiwa yang sangat besar. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang
kehilangan harta benda, rumah, dan sanak saudara mereka akibat banjir dan tanah
longsor.Banjir dan tanah longsor ini terjadi akibat dari Illegal Logging di
Indonesia.Hutan yang tersisa sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan yang
turun dalam curah yang besar, dan pada akhirnya banjir menyerang pemukiman
penduduk. Para pembalak liar hidup di tempat yang mewah, sedangkan masyarakat
yang hidup di daerah dekat hutan dan tidak melakukan Illegal Logging hidup
miskin dan menjadi korban atas perbuatan biadap para pembalak liar. Hal ini
merupakan ketidakadilan sosial yang sangat menyakitkan masyarakat.
3. Berkurangnya sumber mata air di daerah perhutanan.
Pohon-pohon di hutan yang biasanya menjadi penyerap air untuk
menyediakan sumber mata air untuk kepentingan masyarakat setempat, sekarang
habis dilalap para pembalak liar. Hal ini mengakibatkan masyarakat di daerah
sekitar hutan kekurangan air bersih dan air untuk irigasi
4. Global warming
Yang sekarang sedang mengancam dunia dalam kekalutan dan
ketakutan yang mendalam. Bahkan di Indonesia juga telah megalami dampak global
warming yang dimulai dengan adanya tsunami pada tahun 2004 di Aceh yang
menewaskan ratusan ribu orang di Indonesia dan negara-negara tetangga.
5. Musnahnya berbagai fauna dan flora, erosi
Konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu,
hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari
sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu sitaan dan kayu
temuan oleh pihak terkait.Semakin langkanya orang utan juga merupakan dampak
dari adanya Illegal Logging yang semakin marak di Indonesia. Krisis ekonomi
tergabung dengan bencana-bencana alam dan Illegal Logging oleh manusia membawa
orang utan semakin terancam punah. Menurut taksiran para ahli, orang utan liar
bisa menjadi punah dalam jangka waktu sepuluh tahun lagi. Untuk kesekian
kalinya masyarakat dan flora fauna yang tidak bersalah menjadi korban Illegal
Logging. Ini akan menjadi pelajaran yang berharga bagi pemerintah dan
masyarakat agar ikut aktif dalam mengatasi masalah Illegal Logging di
Indonesia.
Melihat dampak dari penebangan hutan secara liar
tersebut,maka perlu adanya suatu cara untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
Dalam menyikapi adanya penebangan hutan tersebut dengan cara pendekatan secara
neo-humanis. Di bawah ini akan diuraikan beberapa pendekatan neo-humanis dalam
mencegah dan mengurangi terjadinya penebangan hutan secara liar :
1.
Melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang
mengatur tentang pengelolaan hutan
2.
Bimbingan dan penyuluhan kepada penduduk setempat
tentang betapa pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan semua umat.
3.
Dalam hal penebangan hutan secara konservatif, denagn
cara menebang pohon yang sudah tidak berproduktif lagi.
4.
Melakukan program reboisasi secara rutin
5.
Selain itu, perlu adanya inovasi pelatihan keterampilan
kerja di masyarakat secara gratis dan rutin dari pihak-pihak yang terkait,
seperti Dinas Tenaga Kerja,dll,
Kekayaan hasil
dari Tindak Pidana Pengrusakan Hutan dan Lingkungan Hidup (dan penjabaran
lainnya sesuai peraturan perundangundangan) dapat dikategorikan Tindakan Pidana
Pencucian Uang.
Pencucian uang (Inggris:Money
Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan
agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan
yang sah/legal.
Pada
umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara
agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak
hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk
kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian
Uang tidak hanya
mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan,
melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pencucian Uang
umumnya dilakukan melalui 3 (tiga) langkah tahapan: langkah pertama yakni
uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan di ubah
ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui
penempatan kepada sistem keuangan[1] [2] dengan
berbagai cara (tahap penempatan/placement); langkah kedua adalah
melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan
memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga
sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap
pelapisan/layering); langkah ketiga (final) merupakan tahapan dimana
pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam Harta
Kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke
dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk
membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan
tindak pidana (tahap integrasi).[3] [4]
Di Indonesia,
hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga
tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang
yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan
kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama
dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010,
dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil
tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian
uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni
dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda
paling banyak 10 miliarrupiah.
Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang
(Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta
Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c.
narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan
migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang
perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan
senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r.
penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang
perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang
kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui
atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris
perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n.
Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK (Inggris:Indonesian
Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana
dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 adalah lembaga independen dibawah
Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas
tindak pidana Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang;
2. pengelolaan data dan informasi yang
diperoleh PPATK;
3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak
Pelapor; dan
4. analisis atau pemeriksaan laporan
dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang
dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Dalam pergaulan global di masyarakat
internasional, PPATK dikenal sebagai Indonesian Financial Intelligence
Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian
Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK
merupakan anggota dari ''The Egmont Group'' yakni
suatu asosiasi lembaga FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan dunia
internasional yang bersih dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.
Dalam perkembangannya, tindak pidana
pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan
menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem
keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal
itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah
mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap
negara/jurisdiksi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised
40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF,
antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang
mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan
bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu
dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau
multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan
harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Penanganan tindak
pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu,
tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan
kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan
analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan
sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. Upaya yang dilakukan tersebut
dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang
ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda,
adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya
pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan
pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari
para pelaksana Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan
menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Materi muatan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, antara lain:
1. redefinisi pengertian hal yang
terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak
pidana pencucian uang;
3. pengaturan mengenai penjatuhan
sanksi pidana dan sanksi administratif;
4. pengukuhan penerapan prinsip
mengenali Pengguna Jasa;
5. perluasan Pihak Pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan
oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. penataan mengenai Pengawasan
Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak
Pelapor untuk menunda transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran
lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik
tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;
11. perluasan instansi yang berhak
menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. penambahan kewenangan PPATK,
termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
14. penataan kembali hukum acara
pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan
15. pengaturan mengenai penyitaan Harta
Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari
kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisimaupun pegawai
negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara
tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak[1].
Dari sudut pandang hukum, tindak
pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
·
perbuatan
melawan hukum,
·
penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana,
·
memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
·
merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di
antaranya, namun bukan semuanya, adalah
·
memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
·
penggelapan
dalam jabatan,
·
pemerasan
dalam jabatan,
·
ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
·
menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau
korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang
politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau
tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau
wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.
Sebagai contoh, pendanaan partai
politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak
legal di tempat lain.
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan
(penyogok) dan penerima sogokan.
Audit
Lingkungan Hidup
Audit
lingkungan merupakan instrumen berharga untuk memverifikasi dan membantu penyempurnaan
kinerja lingkungan. Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan
apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang
direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang
pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan
perusahaan dan hasil audit sebelumnya.
Adapun
definisi dari audit lingkungan adalah
Menurut
US EPA:
“Audit
lingkungan merupakan suatu pemeriksaan yang sistematis, terdokumentasi,
periodic dan obyektif berdasarkan aturan yang tersedia terhadap fasilitas
operasi dan praktek yang berkaitan dengan pentaatan kebutuhan lingkungan”.
Menurut
KLH:
“Audit
Iingkungan hidup diperlukan sebagai suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh
penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk menetapkan tingkat ketidakpatuhan
terhadap peraturan perundangundangan di bidang pengelolaan Iingkungan hidup
yang terkait dengan kegiatan tersebut”.
Menurut
SML ISO/SNI 14010:
“Suatu
proses verifikasi tersistemasi dan terdokumentasi untuk memperoleh dan
mengevaluasi bukti secara obyektif untuk menentukan apakah SML dari organisasi
sesuai dengan kriteria audit SML yang dibuat organisasi, dan untuk
mengkomunikasikan hasil proses ini kepada manajemen”.
Tujuan
dan Manfaat Audit Lingkungan
Tujuan
dari audit lingkungan adalah:
1.
Untuk menentukan apakah SML sesuai
dengan pengaturan pengelolaan lingkungan yang sudah direncanakan dan apakah sml
sudah diterapkansecara benar dan dipelihara.
2.
Perolehan jaminan pentaatan
3.
Pertanggungjawaban keuangan
4.
Perlindungan terhadap pertanggungjawaban
pegawai
5.
Penemuan fakta dalam hal pendapatan dan
pengeluaran
6.
Pengawasan dan pelaporan adanya biaya
pentaatan
7.
Pengiriman informasi diantara beberapa
unit operasi
8.
Peningkatan kesadaran lingkungan
9.
Pengawasan terhadap tanggungjawab
manager
Adapun
fungsi dari audit lingkungan adalah:
Fungsi
audit lingkungan adalah sebagai berikut:
1.
Upaya peningkatan pentaatan suatu usaha
atau kegiatan terhadap peraturanperundang-undangan lingkungan, misalnya:
standar emisi udara, limbah cair, penanganan limbah dan standar operasi
lainnya;
2.
Dokumen suatu usaha atau kegiatan
pelaksanaan standar operasi, tata laksana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
termasuk rencana tanggap darurat, pemantauan dan pelaporan serta rencana
perubahan pada proses dan peraturan;
3.
Jaminan untuk menghindari perusakan atau
kecenderungan perusakan lingkungan; Bukti keabsahan prakiraan dampak dan
penerapan rekomendasi yang tercantum dalam dokumen AMDAL, yang berguna dalam
penyempurnaan proses AMDAL; Upaya perbaikan penggunaan sumber daya melalui
penghematan penggunaan bahan, minimisasi limbah dan identifikasi kemungkinan
proses daur ulang;
4.
Upaya untuk meningkatkan tindakan yang
telah dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepentingan
lingkungan, misalnya pembangunan yang berlanjut, proses daur ulang dan
efisiensi penggunaan sumber daya.
Keuntungan Audit Lingkungan
Program
audit dapat menghasilkan sejumlah keuntungan yang berarti, termasuk
diantaranya :
1.
Menimbulkan pentaatan yang lebih baik;
dengan melakukan audit lingkungan maka manajer perusahaan akan menjadi lebih
taat akan peraturan dan standar yang berlaku.
2.
Menimbulkan lebih sedikit kejutan;
dengan adanya audit lingkungan ini maka segala sesuatu yang ada di lokasi
perusahaan terpantau secara baik sehingga jika ada hal yang menyimpang atau
kurang tepat dapat diketahui sedini mungkin.
3.
Menimbulkan lebih sedikit denda dan
gugatan; dengan adanya program audit maka diharapkan bahwa perusahaan berjalan/
dioperasikan sesuai dengan peraturan dan standar yang berlaku sehingga dapat
menghindari denda akibat kelalaian pengoperasian dan gugatan dari pihak yang
bersengketa.
Sanksi Pidana di dalam
Undang-Undang Lingkungan Hidup RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal
97
Tindak
pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Pasal
98
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
(2) Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah). Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal
99
(1)
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
(2)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
(3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar
rupiah).
Pasal
100
(1)
Setiap orang yang melanggar baku mutu
air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan
tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Pasal
101
Setiap
orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal
102
Setiap
orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal
103
Setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal
104
Setiap
orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal
105
Setiap
orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal
106
Setiap
orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
Pasal
107
Setiap
orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
Pasal
108
Setiap
orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal
109
Setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal
110
Setiap
orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal
111
(1) Pejabat
pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi
dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat
pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal
112
Setiap
pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya
nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal
113
Setiap
orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal
114
Setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal
115
Setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri
sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal
119
Selain
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan
seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan
akibat tindak pidana;
d. pewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau penempatan perusahaan di
bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar