Kamis, 27 Juni 2013

5 (LIMA) KATAGORI UNTUK MENGETAHUI TINGKAT KELANGKAAN DARI SUATU JENIS PLASMA NUTFAH NABATI

Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA




Berikut merupakan kutipan ilmiah yang disusun Penulis dan digunakan sebagai referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.



5 (LIMA) KATAGORI UNTUK MENGETAHUI TINGKAT KELANGKAAN DARI SUATU 
JENIS PLASMA NUTFAH NABATI


Untuk mengetahui tingkat kelangkaan dari suatu jenis plasma nutfah nabati, dikenal ada 5 macam katagori yaitu :
  1. Extinct (punah) adalah sebutan yang diberikan pada tumbuhan yang telah musnah atau hilang sama sekali dari permukiman bumi.
  2. Endangeret (genting) adalah sebutan untuk jenis yang sudah terancam kepunahan dan tidak akan dapat bertahan tanpa perlindungan yang ketat untuk menyelamatkan kelangsungan hidupnya. Contoh : Rafflesia arnoldii dan purwoceng (Pimpinella pruatjan).
  3. Vulnerable (rawan) katagori ini untuk jenis yang tidak segera terancam kepunahan tetapi terdapa dalam jumlah yang sedikit dan eksploitasinya terus berjalan sehingga perlu dilindungi contohnya adalah : cendana (Satalum album) kayubesi (Eusideroxylon ewageri) dan ki koneng (Arcangelisis flava).
  4. Rare (jarang) sebutan untuk jenis yang populasinya besar tetapi terbesar secara lokal atau daerah penyebarannya luas tapi tidak sering dijumpai, serta mengalami erosi yang berat. Contohnya : sawo kecik (Munilkara kauki), kedawung (Parkia roxburghii) dan pulai pandak (Rauvolfia serpentina).
  5. Indeterminate (terkikis) sebutan untuk jenis yang jelas mengalami proses pelangkaan tetapi informasi keadaan sebenarnya belum mencukupi, sebagian besar jenis-jenis plasma nutfah nabati yang langka termasuk katagori ini.

DAFTAR NAMA POHON KHAS BATAK DI DATARAN TINGGI TAPANULI PROVINSI SUMATERA UTARA

Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA


Berikut merupakan kutipan ilmiah yang disusun dan digunakan Penulis sebagai referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.


DAFTAR NAMA POHON KHAS BATAK DI DATARAN TINGGI TAPANULI 
PROVINSI SUMATERA UTARA


Tanaman minyak atsiri Litsea cubeba (lemo). (Litsea cubeba) dan kemenyan (Styrax sumatrana) untuk kawasan hutan yang dilindungi. Tinjauan ekologis Litsea cubeba menunjukkan bahwa L. cubeba dapat tumbuh pada :

  1. kisaran suhu antara 22,10 – 41,53 oC,
  2. kelembaban udara maksimum antara 35,12-85,99% dan minimum antara 26,77-76,69%,
  3. intensitas cahaya maksimum antara 183 -101.900 lux dan minimum 014-33.800 lux.

Jenis pohon yang berasosiasi Pinus merkusi, antara lain :

  1. kemenyan,
  2. makadamia,
  3. jengkol,
  4. enau,
  5. kemiri,
  6. hapas-hapas,
  7. salagundi,
  8. simartolu,
  9. motung,
  10. simarsihalak,
  11. landorung,
  12. api-api,
  13. sepang,
  14. haudolok,
  15. siringgas,
  16. medang,
  17. boji-boji,
  18. petai,
  19. toruk, dan
  20. hoting.

Aspek Lingkungan Hidup

NO
URAIAN
1
Ketinggian (m dpl)
1278 – 1300
1187-1296
777-812
945-1000
1128- 1142
2
Kelembaban udara (%)
Maks: 51,76 - 65,70, min: 44,55-62,56.
55,62-74,67,
Maks:35,12-63,01, min:26,77-59,86
Maks: 81,27-83,93,
71,46-76,20

min: 75,23-76,32,
3
Suhu (oC)
27,88-32,53
22,10-31,81,
31,32-41,53
22,87- 24,51
23,85
4
Intensitas cahaya (lux)
18.550-19.290
57-9380
33.800-101.900
120-291
1358 - 1987
5
Asosiasi L. cubebadengan jenis lain
kopi, harimuting, pakis, bunga botar, Sanduduk, Tambicu, Marak Putih, Randu kambing, Salagundi, Medang, Hapas-hapas, Landorung, Atuang, dan Rugun-rugun
simartolu, kopi, sidabudakka, andulpak, medang, lambistik, pinus, sanduduk, haudolok, jengkol, petai, dan kemiri.
sanduluk, rumput sanggar, tambisu, pornya-pornya, sitarak, lamoe, sipesek, goring-goring, sidabudakka, hauranduk, handomang dan medang.
Kemenyan, Boji-boji, Petai, Toruk, Hoting, Medang, Simartolu, Torop, Sanduduk, pakis, arang-arang, ria-ria, langge, sukit , Jengkol, Api-api, Sepang, haudolok, Hauhalak, Siringgas, Suhul-suhul, Haugadong, Haurasa, Dumon-dumon, Alingit, Andor, Hauraja, Hoting bulu, Sitopu-topu, Apus tutung, Sukit, Rumput manis, Kopi, Taki dan andur bosi.
Landorung, Simarsihalak, Pirdot, Tambisu, Ria-ria, Hauhumbang, Sanggirgir, Bunga Botar, Siala, dan Apus tutung.


BELAJAR TENTANG GEMPA DI SUMATERA UTARA DAN SEKITARNYA

Perpustakaan Helmut Todo Tua Simamora
Badan Lingkungan Hidup, Penelitian dan Pengembangan
Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara
INDONESIA



BELAJAR TENTANG GEMPA DI SUMATERA UTARA DAN SEKITARNYA



Berikut merupakan kutipan ilmiah yang digunakan Penulis sebagai referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.



Bencana dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tiba-tiba atau musibah besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi normal dari suatu masyarakat atau komunitas. Bencana juga dapat dimaknai sebagai suatu kejadian atau serangkaian kejadian yang memberi, meningkatkan jumlah korban atau kerusakan atau kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan yang penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada di luar kapasitas normal dari komunitas-komunitas (Coburn et.al, 1994).

Secara sporadis bencana muncul masih dalam koridor penjelasan ilmiah namun prediksi bencana merupakan satu misteri ilmiah. Bencana datangnya tidak terduga, sehingga yang paling diutamakan adalah proses minimalisasi bencana dan bagaimana cara menanggulangi sehingga bisa dilakukan tindakan preventif.

Bencana alam, dilihat dari penyebabnya dapat dibedakan atas sedikitnya tiga jenis yaitu bencana geologis, klimatologis dan ekstra-terestrial. Bencana alam geologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam bumi meliputi gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi.

Bencana yang berkaitan dengan batu-batuan yakni longsor, gerakan tanah, serta dalam skala terbatas menyangkut tempat, termasuk pula banjir dan banjir bandang (Brahmantyo dan Puradimaja, 2005). Bencana alam klimatologis adalah bencana yang ditimbulkan oleh cuaca yang sudah dapat diprediksi kedatangannya, arah, dan lokasi yang akan dilanda bencana. Bencana alam ekstra-terestrial adalah
bencana yang terjadi akibat hantaman meteor atau benda dari angkasa luar yang kedatangannya tidak dapat diprediksi.

Pengertian gempa bumi menurut Boen dalam Sudibyakto (2000) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas, getaran-getaran tersebut terjadi karena terlepasnya suatu energi secara tiba-tiba. Namun gejala-gejala geologis tersebut juga dapat berakibat terjadinya bencana geologis lainnya selain gempa bumi seperti gunung meletus, tanah longsor, banjir dan juga tsunami.

Gempa bumi bisa disebabkan oleh berbagai sumber, antara lain (1) letusan gunung berapi (erupsi vukalnik), (2) tubrukan meteor, (3) ledakan bawah tanah (seperti uji nuklir), dan (4) pergerakan kulit Bumi (Rusydi, 2004). Di bawah lempengan bumi ada magma yang bergerak. Gerakan ini menghasilkan gaya yang dirasakan oleh lempengan terutama pada daerah sambungan antar lempeng. Pada satu saat, gaya ini benar-benar membuat lempengan bergerak. Gerakan ini membuat tanah di atasnya dan juga magma di bawahnya bergetar (vibrasi). Getaran ini akan diteruskan sampai ke permukaan tanah, dan inilah yang disebut gempa bumi (Rusydi, 2004). Bencana alam gempa bumi sampai sekarang belum bisa diprediksikan secara akurat karena pengetahuan kita pada how the earthquake happens hanya sanggup memprediksi gempa dengan orde presisi ratusan atau bahkan ribuan tahun.

Bencana yang mungkin terjadi setelah gempa bumi adalah tanah longsor, banjir dan kebakaran. Selain itu, gempa bumi juga dapat menimbulkan tsunami atau gelombang pasang (Eisner and Gallion, 1994). Tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang, yang artinya pelabuhan (tsu) dan gelombang (nami). Ini adalah terminologi untuk menyebutkan fenomena gelombang laut yang tinggi dan besar akibat gangguan mendadak pada dasar laut yang secara vertikal mengurangi volume kolom air. Jadi gempa bumi dan tsunami sangat erat kaitannya hanya terjadi pada lokasi yang berbeda dimana tsunami merupakan efek dari gempa bumi yang terjadi di dasar laut. Namun efek gelombang laut tersebut dapat memperluas wilayah ‘korban’ apabila tidak ada ‘penghadang’ yang kokoh (Sudarmono, 2005).

Wilayah Indonesia dipengaruhi oleh zona pertemuan empat lempeng besar dunia yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pacifik dan Philipina. Pengaruh dari pertemuan lempeng dunia ini kepada kondisi seismik tektonik kawasan Indonesia (Wardani et.al, 2005). Gempa tektonik berskala besar dan kecil banyak melanda wilayah selatan dan barat Indonesia, mulai dari pesisir barat Sumatera, pesisir selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kepulauan Maluku hingga Papua. Wilayah-wilayah yang rawan gempa dan gelombang tsunami, hádala wilayah yang dilalui lempeng bumi yang bisa bergeser.

Sesungguhnya kemungkinan terjadinya gempa bumi dapat diprediksikan walaupun tempat dan waktu kejadian belum bisa dipastikan, dengan mengetahui sejarah kegempaan yang terjadi di suatu wilayah dapat diprediksikan masa pengulangan gempa selanjutnya. Masa pengulangan terjadinya gempa-gempa besar dari beberapa penelitian memperlihatkan kurun waktu ratusan tahun pada lokasi yang sama (Canahar, et.al, 2005). Dengan mengetahui sejarah kegempaan yang ada, daerah yang dulunya pernah mengalami gempa dapat mempersiapkan daerahnya untuk menghadapi gempa yang dapat datang kapan saja.

Mitigasi Bencana
Penanganan bencana harus dengan strategi proaktif, tidak semata-mata bertindak pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi datangnya bencana dengan membentuk system peringatan dini, identifikasi kebutuhan dan sumber-sumber yang tersedia, penyiapan anggaran dan alternatif tindakan, sampai koordinasi dengan pihakpihak yang memantau perubahan alam. Dalam mitigasi dilakukan upaya-upaya untuk meminimalkan dampak dari bencana yang akan terjadi yaitu program untuk mengurangi pengaruh suatu bencana terhadap masyarakat atau komunitas dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data base, pemantauan dan pengembangan.

Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar korban jiwa dan kerugian materi yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinan terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Istilah program mitigasi bencana mengacu kepada dua tahap perencanaan yaitu: Pertama, perencanaan sebelum kejadian untuk manajemen bencana, mencakup aktivitas-aktivitas mitigasi dan perencanaan bencana; Kedua, perencanaan serta tindakan sesudah kejadian, meliputi peningkatan standar teknis dan bantuan medis serta bantuan keuangan bagi korban (Inoghuci et.al, 2003).

Dalam mitigasi bencana dilakukan tindakan-tindakan antisipatif untuk meminimalkan dampak dari bencana yang terjadi dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data, pemantauan dan pengembangan. Di negara-negara maju, kesalahan dalam pembangunan diimbangi melalui perencanaan yang matang (Inoghuci et.al, 2003). Belajar dari bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember 2004 lalu, besarnya bencana selain diakibatkan oleh tingginya gelombang tsunami, juga oleh tata ruang yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan, rumah dibangun dekat dengan laut tidak adanya sabuk hijau, dan mangrove tinggal sedikit (Cahanar ed., 2005).
Belajar dari pengalaman ini, pihak pemerintah daerah yang memiliki wilayah pesisir yang rawan gempa dan tsunami hendaknya menata kembali wilayahnya, dengan tidak membangun wilayah pemukiman, fasilitas ekonomi dan industri di dekat pantai. Selain itu perlu dipersiapkan jalur evakuasi untuk penyelamatan penduduk dan dibangun lokasi pengungsian serta depot untuk bahan makanan dan obat-obatan bagi para pengungsi (Cahanar ed., 2005).
Di pulau Okushirito Jepang yang sangat dekat dengan pusat gempa diterjang tsunami dalam waktu yang bersamaan dengan terjadinya gempa sedangkan alat deteksi mampu mendeteksi tsunami dalam waktu mendekati 1 menit, sehingga di daerah rawan tsunami diberikan rambu petunjuk arah untuk
memudahkan mencapai lokasi evakuasi (Nariman, 2005).

Geoteknik dan Geologi
Jalur patahan Renun-Toru yang membelah bumi Sumatera Utara yang melintasi Kabupaten Karo, Dairi, Samosir, Pak-pak Barat, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal memberikan konsekuensi adanya bahaya gempa yang mengancam kawasan patai barat Sumatera Utara termasuk Kota Sibolga.

JENIS BAHAN PERUSAK OZON (BPO) YANG IMPORNYA DIATUR DI DALAM PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA
JENIS BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON (BPO) YANG IMPORNYA DIATUR DI DALAM 
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
NO NAMA BARANG URAIAN NAMA BARANG NO. HS NO. CAS
1 CFC-11 Triklorofluoro Metana 2903.41.00.00 75-69-4
2 CFC-12 Dikloro difluoro Metana 2903.42.00.00 75-71-8
3 CFC-13 Kloro Trifluoro Metana 2903.45.10.00 75-72-9
4 CFC-111 Pentaklorofluoro Etana 2903.45.21.00 354-56-3
5 CFC-112 Tetrakloro Difluoro Etana 2903.45.22.00 76-12-0
6 CFC-113 Trikloro Trifluoro Etana 2903.43.00.00 76-13-1
7 CFC-114 Dikloro Tetra fluoro Etana 2903.44.00.00 76-14-2
8 CFC-115 Kloro Pentafluoro Etana 2903.44.00.00 76-15-3
9 CFC-211 Heptakloro fluoro propana 2903.45.31.00 -
10 CFC-212 Heksakloro difluoro propana 2903.45.32.00 -
11 CFC-213 Pentakloro trifluoro propana 2903.45.33.00 -
12 CFC-214 Tetrakloro tetrafluoro propana 2903.45.34.00 -
13 CFC-215 Dikloro heksafluoro propana 2903.45.35.00 -
14 CFC-216 Dikloro heksafluoro propana 2903.45.36.00 -
15 CFC-217 Kloroheptafluoro propana 2903.45.37.00 -
16 Metil Bromida Bromomethana 2903.30.20.00 74-83-9 s.htt-16
17 R-500 Blended antara CFC-12/HFC-152a, 2824.71.00.00 - s.htt-17
    R-502 blended HFC-22/CFC-115     s.htt-18
18 R-502 Campuran mengandung turunan 3824.71.00.00 - s.htt-19
    perhalogen dari HC Asiklik       
    mengandung dua atau lebih      
    halogen berbeda      
    - mengandung HC, Asiklik      
    perhalogen hanya fluor dan khlor      
    - Mengandung R-115/HFC-22      
    (Chlorodifluoro ethane)      

Rabu, 26 Juni 2013

BELAJAR TENTANG HUTAN

Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA


Berikut merupakan kutipan ilmiah yang bermanfaat sehingga disusun oleh Penulis dan digunakan sebagai referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja di kantor.


BELAJAR TENTANG HUTAN

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitathewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman.[1]

Bagian-bagian hutan

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/79/Forest_Slurup.JPG/150px-Forest_Slurup.JPG
Hutan Slurup di gunung Wilis pada sisi Kabupaten Kediri, tepatnya di daerah Dolo kecamatan Mojo. Hutan dengan banyak aliran air, berhawa dingin dan tingkat kelembapan rendah
Bayangkan mengiris sebuah hutan secara melintang. Hutan seakan-akan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian di atas tanah, bagian di permukaan tanah, dan bagian di bawah tanah.
Jika kita menelusuri bagian di atas tanah hutan, maka akan terlihat tajuk (mahkota) pepohonan, batang kekayuan, dan tumbuhan bawah sepertiperdu dan semak belukar. Di hutan alam, tajuk pepohonan biasanya tampak berlapis karena ada berbagai jenis pohon yang mulai tumbuh pada saat yang berlainan.
Di bagian permukaan tanah, tampaklah berbagai macam semak belukar, rerumputan, dan serasah. Serasah disebut pula 'lantai hutan', meskipun lebih mirip dengan permadani. Serasah adalah guguran segala batang, cabang, daun, ranting, bunga, dan buah. Serasah memiliki peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah juga menjadi rumah dari serangga dan berbagai mikro organismelain. Uniknya, para penghuni justru memakan serasah, rumah mereka itu; menghan Semua tumbuhan dan satwa di dunia, begitupun manusia, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Jika suatu jenis tumbuhan atau satwa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik di daerah tertentu, maka mereka akan dapat berkembang di daerah tersebut. Jika tidak, mereka justru tersingkir dari tempat ini. Contohnya, kita menemukan pohon bakau di daerah genangan dangkal air laut karena spesies pohon ini tahan dengan air asin dan memiliki akar napas yang sesuai dengan sifat tanah dan iklim panas pantai.
Sebaliknya, cara berbagai tumbuhan dan satwa bertahan hidup akan memengaruhi lingkungan fisik mereka, terutama tanah, walaupun secara terbatas. Tumbuhan dan satwa yang berbagi tempat hidup yang sama justru lebih banyak saling memengaruhi di antara mereka. Agar mampu bertahan hidup di lingkungan tertentu, berbagai tumbuhan dan hewan memang harus memilih antara bersaing dan bersekutu. Burung kuntul, misalnya, menghinggapi punggung banteng liar untuk mendapatkan kutu sebagai makanannya. Sebaliknya, banteng liar terbantu karena badannya terbebas dari sumber penyakit.
Jadi, hutan merupakan bentuk kehidupan yang berkembang dengan sangat khas, rumit, dan dinamik. Pada akhirnya, cara semua penyusun hutan saling menyesuaikan diri akan menghasilkan suatu bentuk klimaks, yaitu suatu bentuk masyarakat tumbuhan dan satwa yang paling cocok dengan keadaan lingkungan yang tersedia. Akibatnya, kita melihat hutan dalam beragam wujud klimaks, misalnya: hutan sabana, hutan meranggas, hutan hujan tropis, dan lain-lain.

Macam-macam Hutan

Rimbawan berusaha menggolong-golongkan hutan sesuai dengan ketampakan khas masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan manusia dalam mengenali sifat khas hutan. Dengan mengenali betul-betul sifat sebuah hutan, kita akan memperlakukan hutan secara lebih tepat sehingga hutan dapat lestari, bahkan terus berkembang.
Ada berbagai jenis hutan. Pembedaan jenis-jenis hutan ini pun bermacam-macam pula. Misalnya:

Menurut asal

Kita mengenal hutan yang berasal dari biji, tunas, serta campuran antara biji dan tunas.
·         Hutan yang berasal dari biji disebut juga ‘hutan tinggi’ karena pepohonan yang tumbuh dari biji cenderung menjadi lebih tinggi dan dapat mencapai umur lebih lanjut.
·         Hutan yang berasal dari tunas disebut ‘hutan rendah’ dengan alasan sebaliknya.
·         Hutan campuran, oleh karenanya, disebut ‘hutan sedang’.
Penggolongan lain menurut asal adalah
·         Hutan perawan (primer) merupakan hutan yang masih asli dan belum pernah dibuka oleh manusia.
·         Hutan sekunder adalah hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas. Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder sering terlihat lebih pendek dan kecil. Namun jika dibiarkan tanpa gangguan untuk waktu yang panjang, kita akan sulit membedakan hutan sekunder dari hutan primer. Di bawah kondisi yang sesuai, hutan sekunder akan dapat pulih menjadi hutan primer setelah berusia ratusan tahun.

 

Menurut cara permudaan (tumbuh kembali)

Hutan dapat dibedakan sebagai hutan dengan permudaan alami, permudaan buatan, dan permudaan campuran. Hutan dengan permudaan alami berarti bunga pohon diserbuk dan biji pohon tersebar bukan oleh manusia, melainkan oleh angin, air, atau hewan. Hutan dengan permudaan buatan berarti manusia sengaja menyerbukkan bunga serta menyebar biji untuk menumbuhkan kembali hutan. Hutan dengan permudaan campuran berarti campuran kedua jenis sebelumnya.
Di daerah beriklim sedang, perbungaan terjadi dalam waktu singkat, sering tidak berlangsung setiap tahun, dan penyerbukannya lebih banyak melalui angin. Di daerah tropis, perbungaan terjadi hampir sepanjang tahun dan hampir setiap tahun. Sebagai pengecualian, perbungaan pohon-pohon dipterocarp (meranti) di Kalimantan dan Sumatera terjadi secara berkala. Pada tahun tertentu, hutan meranti berbunga secara berbarengan, tetapi pada tahun-tahun berikutnya meranti sama sekali tidak berbunga. Musim bunga hutan meranti merupakan kesempatan emas untuk melihat biji-biji meranti yang memiliki sepasang sayap melayang-layang terbawa angin.

 

Menurut susunan jenis

Berdasarkan susunan jenisnya, kita mengenal hutan sejenis dan hutan campuran. Hutan sejenis, atau hutan murni, memiliki pepohonan yang sebagian besar berasal dari satu jenis, walaupun ini tidak berarti hanya ada satu jenis itu. Hutan sejenis dapat tumbuh secara alami baik karena sifat iklim dan tanah yang sulit maupun karena jenis pohon tertentu lebih agresif. Misalnya, hutan tusam (pinus) di Aceh dan Kerinci terbentuk karena kebakaran hutan yang luas pernah terjadi dan hanya tusam jenis pohon yang bertahan hidup. Hutan sejenis dapat juga merupakan hutan buatan, yaitu hanya satu atau sedikit jenis pohon utama yang sengaja ditanam seperti itu oleh manusia, seperti dilakukan di lahan-lahan HTI (hutan tanaman industri).
Penggolongan lain berdasarkan pada susunan jenis adalah hutan daun jarum (konifer) dan hutan daun lebar. Hutan daun jarum (seperti hutan cemara) umumnya terdapat di daerah beriklim dingin, sedangkan hutan daun lebar (seperti hutan meranti) biasa ditemui di daerah tropis.

 

Menurut umur

Kita dapat membedakan hutan sebagai hutan seumur (kira-kira berumur sama) dan hutan tidak seumur. Hutan alam atau hutan permudaan alam biasanya merupakan hutan tidak seumur. Hutan tanaman boleh jadi hutan seumur atau hutan tidak seumur.

Berdasarkan letak geografisnya:

·         hutan tropika, yakni hutan-hutan di daerah khatulistiwa
·         hutan temperate, hutan-hutan di daerah empat musim (antara garis lintang 23,5º - 66º).
·         hutan boreal, hutan-hutan di daerah lingkar kutub.

Berdasarkan sifat-sifat musimannya:

·         hutan hujan (rainforest), dengan banyak musim hujan.
·         hutan selalu hijau (evergreen forest)
·         hutan musim atau hutan gugur daun (deciduous forest)
·         hutan sabana (savannah forest), di tempat-tempat yang musim kemaraunya panjang. Dll.
hutan wisata

Berdasarkan ketinggian tempatnya:

·         hutan pantai (beach forest)
·         hutan dataran rendah (lowland forest)
·         hutan pegunungan bawah (sub-mountain forest)
·         hutan pegunungan atas (mountain forest)
·         hutan kabut (mist forest)
·         hutan elfin (alpine forest)

Berdasarkan keadaan tanahnya:

·         hutan rawa air-tawar atau hutan rawa (freshwater swamp-forest)
·         hutan rawa gambut (peat swamp-forest)
·         hutan rawa bakau, atau hutan bakau (mangrove forest)
·         hutan kerangas (heath forest)
·         hutan tanah kapur (limestone forest), dan lainnya

Berdasarkan jenis pohon yang dominan:

·         hutan jati (teak forest), misalnya di Jawa Timur.
·         hutan pinus (pine forest), di Aceh.
·         hutan dipterokarpa (dipterocarp forest), di Sumatra dan Kalimantan.
·         hutan ekaliptus (eucalyptus forest) di Nusa Tenggara. Dll.

Berdasarkan sifat-sifat pembuatannya:

·         hutan alam (natural forest)
·         hutan buatan (man-made forest), misalnya:
·         hutan rakyat (community forest)
·         hutan kota (urban forest)
·         hutan tanaman industri (timber estates atau timber plantation) Dll.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/8b/Hutankota.JPG/220px-Hutankota.JPG
Hutan Kota di Singapura

Berdasarkan tujuan pengelolaannya:

·         hutan produksi, yang dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun hasil hutan bukan kayu (non-timber forest product)
·         hutan lindung, dikelola untuk melindungi tanah dan tata air
·         Taman Nasional
·         hutan suaka alam, dikelola untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati atau keindahan alam
·         Cagar alam
·         Suaka alam
·         hutan konversi, yakni hutan yang dicadangkan untuk penggunaan lain, dapat dikonversi untuk pengelolaan non-kehutanan.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/93/Mount_Arjuna_B.JPG/200px-Mount_Arjuna_B.JPG

Lereng gunung Arjuna di wilayah Sumberawan, kecamatan Singosari,kabupaten Malang
Dalam kenyataannya, seringkali beberapa faktor pembeda itu bergabung, dan membangun sifat-sifat hutan yang khas. Misalnya, hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rainforest), atau hutan dipterokarpa perbukitan (hilly dipterocarp forest). Hutan-hutan rakyat, kerap dibangun dalam bentuk campuran antara tanaman-tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian jangka pendek, sehingga disebut dengan istilah wanatani atau agroforest.

Jenis-jenis hutan di Indonesia

Berdasarkan biogeografi

Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekat. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.
·         Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)
Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Balidan Lombok. Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.
·         Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)
Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antaraNusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua Australia.
·         Kawasan Wallace / Laut Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini juga memiliki unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman Essehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Walaupun jenis flora fauna Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis flora fauna Australia di bagian timur, hal ini dikarenakan Kawasan Wallace dulu merupakan palung laut yang sangat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.

Terestrial (darat) 
Penentuan zona dalam ekosistem terestrial ditentukan oleh temperatur dan curah hujan.[2] Ekosistem terestrial dapat dikontrol oleh iklim dan gangguan.[2] Iklim sangat penting untuk menentukan mengapa suatu ekosistem terestrial berada pada suatu tempat tertentu.[2] Pola ekosistem dapat berubah akibat gangguan seperti petir, kebakaran, atau aktivitas manusia.[2]
·         Hutan hujan tropis.
Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropik dan subtropik.[5] Ciri-cirinya adalah curah hujan 200-225 cm per tahun.[5] Spesies pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya.[5] Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinggi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi).[5] Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro, yaitu iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme.[5] Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari, variasi suhu dan kelembapan tinggi, suhu sepanjang hari sekitar 25 °C.[5] Dalam hutan hujan tropis sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan) dan anggrek sebagai epifit.[5]Hewannya antara lain, keraburungbadakbabi hutanharimau, dan burung hantu.[5]
Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropik dan subtropik.
Ciri-cirinya adalah :
1.      Curah hujan 200-225 cm per tahun.
2.      2.Spesies pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya.
3.      Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinggi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi).
4.      Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro, yaitu iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme.
5.      Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari, variasi suhu dan kelembapan tinggi, suhu sepanjang hari sekitar 25 °C.
6.      Dalam hutan hujan tropis sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan) dan anggrek sebagai epifit.
7.      Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu. pohonnya heterogen.
8.      Keanekaragaman tinggi:terdapat keanekaragaman hayati yg sangat tinggi.
9.      Tanaman yg Dominan Liana (merambat) , ex: rotan Epifit (menempel),ex:Anggrek
10.  Curah Hujan Tinggi(setiap tahun curah hujan tinggi).
11.  Porositas dan drainase baik:Air diserap baik oleh tumbuhan.
12.  Penutupan Kanopi rapat : karena pohon-pohon menjulang tinggi untuk mendapat cahaya matahari.
13.  Curah hujan bioma hutan hujan tropis cukup tinggi, yatu sekitar 200-225 cm per tahun.
14.  Tumbuhannya tinggi dan rimbun membentuk tudung yang menyebabkan dasar hutan menjadi gelap dan basah.
15.  Tumbuhan khas, ialah liana dan epifit. Contoh liana adalah rotan sedangkan epifit adalah anggrek.
16.  Vegetasinya didominasi oleh tumbuhan yang aktif melakukan fotosintesis, misalnya jati, meranti, konifer, dan keruing.
17.  Hewannya didominasi oleh aneka kera, babi hutan, burung, kucing hutan, bajing dan harimau.
1. Ekosistem Hutan Hujan Tropis 
18.  Hutan Hujan Tropis adalah suatu masyarakat kompleks merupakan tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Dalam buku ini istilah kanopi hutan digunakan sebagai suatu yang umum untuk menjelaskan masyarakat tumbuhan keseluruhan di atas bumi. Di dalam kanopi iklim micro berbeda dengan diluarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Banyak dari pohon yang lebih kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di atas bentuk pohon dan dalam iklim mikro dari cakupan pertumbuhan kanopi dari berbagai jenis tumbuhan lain: pemanjat, epiphytes, mencekik, tanaman benalu, dan saprophytes.
19.  Pohon dan kebanyakan dari tumbuhan lain berakar pada tanah dan menyerap unsur hara dan air. Daun-Daun yang gugur, Ranting, Cabang, dan bagian lain yang tersedia; makanan untuk sejumlah inang hewan invertebrata, yang penting seperti rayap, juga untuk jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari bagian yang jatuh dan dengan pencucian dari daun-daun oleh air hujan. Ini merupakan ciri hutan hujan tropis yang kebanyakan dari gudang unsur hara total ada dalam tumbuhan; secara relatif kecil di simpan dalam tanah.
20.  Di dalam kanopi hutan, terutama di hutan dataran rendah, disana hidup binatang dengan cakupan luas, hewan veterbrata dan invertebrata, beberapa yang makan bagian tumbuhan, yang memakan hewan. Hubungan timbal balik kompleks ada antara tumbuhan dan binatang, sebagai contoh, dalam hubungan dengan penyerbukan bunga dan penyebaran biji. Beberapa tumbuhan, yang disebut myrmecophytes, menyediakan tempat perlindungan untuk semut di dalam organ yang dimodifikasi. Banyak tumbuhan, menghasilkan bahan-kimia yang berbisa bagi banyak serangga dan cara ini untuk perlindungan diri dari pemangsaan.
21.  Keseluruhan masyarakat organik dan lingkungan phisik dan kimianya bersama-sama menyusun dasar ekosistem pada hutan hujan tropis. Jika bagian dari hutan menjadi rusak, tumbuhan (dan satwa) terbukanya gap, yang lain menyerbu dengan persaingan; ada suatu suksesi sekunder dari komunitas tumbuhan seral, hingga dengan cepat suatu masyarakat yang serupa menjadi asli seperti semula. Ini disebut “Klimaks”.
2. Synusiae
22.  Suatu synusia adalah suatu kelompok tumbuhan dari bentuk hidup yang serupa mengisi relung yang sama dan berperan serupa di dalam komunitas dimana bentuknya terpisah (Richards 1952); Ini merupakan suatu bentuk hidup komunitas terpisah.
23.  Synusiae menyediakan suatu bahan untuk menganalisa masyarakat tumbuhan yang kompleks. Richards (1952) telah memperkenalkan suatu penggolongan yang praktis untuk synusiae hutan hujan tropis:
A. Tumbuhan Autotrophic (dengan butir hijau daun)
1. Tumbuhan Independent Mekanis
(a) pohon dan treelets; ( b) herba. 
2. Tumbuhan Dependent Mekanis
(a) pemanjat; ( b) para pencekik; ( c) epiphytes ( termasuk semi-parasitic epiphytes). 
B. Tumbuhan Heterotrophic (tanpa butir hijau daun).
1. Saprophytes.
2. Parasites.

http://www.ucl.ac.uk/Pharmacology/dc-bits/fungi-pics1-04m.jpg

24.  Jenis sangat berbeda hubungan taxonomic menyusun synusiae. Seperti halnya yang dipunyai bentuk hidup umum, banyak juga mempunyai physiognomy yang sangat serupa. Penyajian yang relatif ttg kelompok ekologis berbeda dalam berbagai Formasi hutan hujan tropis adalah penting definisi mereka. Mereka adalah mewakili seluruh hutan hujan dataran rendah yang hijau tropis. Synusiae terjadi sepanjang daerah tropis di mana saja Formasi ditemukan.

3. Siklus Pertumbuhan Hutan
25.  Pohon ada yang mati dan secepatnya mati disebabkan umur yang tua, biasanya dari ujung cabang memutar kembali kepada tajuk, sedemikian sehingga spesimen hampir mati tua (`overmature' di dalam bahasa rimbawan) adalah ‘‘stagheaded'', dengan dahan lebat yang diarahkan oleh hilangnya anggota yang semakin langsing; lubang biasanya berongga pada tingkat ini. Gugur tajuk ke bawah adalah bagiannya, dan secepatnya batang dan musim gugur potongan dahan sisanya, sering menyurut oleh suatu hembusan keras badai yang diawali dengan angin. Alternatif batang terpisah sebagai kolom berdiri. Banyak pohon tidak pernah menjangkau tingkat lanjut seperti itu tetapi diserang mati oleh kilat atau turun satu demi satu atau di dalam kelompok pada kedewasaan utama mereka atau lebih awal. Rimbawan mencoba untuk memanen suatu pohon baik sebelum umur tua hampir matinya.
Kematian dari suatu pohon individu atau suatu kelompok menghasilkan suatu gap di dalam kanopi hutan yang memungkinkan pohon lain tumbuh. Ini pada gilirannya menjangkau kedewasaan dan barangkali senescence; kemudian mati. Kanopi Hutan, secara terus menerus mengganti pohon tumbuh dan mati. Ini merupakan suatu kesatuan hidup dalam keadaan keseimbangan dinamis. Itu menyenangkan untuk diteliti pertumbuhan ini siklus kanopi ke dalam tiga fasa: tahap gap, membangun tahap, dan tahap dewasa ( cf. Watt 1947).
26.  Tingkat dan pengaturan dari tahap ini berbeda dari hutan ke hutan, sebagian besar berbeda sebab faktor yang menyebabkan kematian. Di Hutan Hujan Dipterocarpaceae selalu hijau pada Malaya Tengah, suatu daerah dimana gap kecil merupakan hal yang biasa terjadi. Jumlah materi tumbuhan baru memproduksi per unit area per unit waktu, yang dapat disebut netto produktivitas primer hutan, berbeda antara tiap tahapan. Tahap gap yang rendah, meningkat ke suatu maksimum di dalam tahap pertumbuhan, dan merosot sepanjang tahap dewasa ( cf. Watt 1947).


4. Stratifikasi
27.  Hutan sering dianggap menjadi lapisan atau strata dan formasi hutan berbeda untuk mendapatkan jumlah strata berbeda & Strata ( Lapisan, atau tingkat) sering mudah dilihat dalam hutan atau pada suatu diagram profil, tetapi kadang tidak dapat.
Mungkin pemakaian umum istilah stratifikasi untuk mengacu pada lapisan total tingginya pohon, yang kadang-kadang diambil seperti lapisan tajuk pohon. Pandangan yang klasik lapisan pohon yang selalu hijau dataran rendah tropis hutan hujan adalah bahwa ada lima strata, A-E. Lapisan A merupakan lapisan paling tinggi pohon yang paling besar yang biasanya berdiri seperti terisolasi atau kelompok yang muncul kepala dan bahu, di atas berlanjut lapisan B, kanopi yang utama. Di bawah B adalah suatu tingkat pohon lebih rendah, Lapisan C ditunjukan bergabung dalam B kecuali pada dua poin-poin dekat akhir. Lapisan D adalah berhutan treelets dan lapisan E forest-floor tumbuh-tumbuhan herba dan semaian bibit kecil. Bersama-Sama ini lima lapisan menjadi anggota synusiae dari tumbuhan autotrophic independent mekanis. Dihubungkan dengan Lapisan struktural ini, sering kasus yang di dalam strata yang lebih rendah tajuk pohon kebanyakan lebih tinggi dari lebar, dan sebaliknya.

http://www.all-creatures.org/hope/gw/Amazon_rainforest_layers.jpg

28.  Konsep struktural lapisan kelihatan hilang pada alam yang dinamis dari kanopi hutan hujan, kenyataannya yang tumbuh dalam ditambah sejak semula. Penambalan pada berbagai ukuran adalah tahap beragam siklum pertumbuhan hutan.
29.  Lapisan bentuk tajuk berhubungan dengan pertumbuhan pohon. Pohon muda masih bertumbuh tingginya lingkar hampir selalu monopodial, dengan batang tunggal (ada beberapa perkecualian, sebagai contoh Alstonia), dan tajuk pada umumnya sempit dan jangkung. Pohon Dewasa kebanyakan jenis adalah sympodial, tanpa batang pusat tunggal, dan beberapa dahan melanjut untuk tumbuh menambah lebar tajuk setelah dewasa tingginya telah dicapai; paling pada umumnya, sympodial tajuk lebih luas dibanding mereka adalah dalam, terus meningkat sangat dengan meningkatnya umur pohon. Pohon lebih pendek belum dewasa dibanding yang tinggi. Lapisan bentuk tajuk begitu sangat diharapkan.
30.  Pertumbuhan Tinggi kebanyakan jenis pohon menjadi sempurna ketika hanya antara sepertiga dan setengah mencapai lubang diameter akhir. Diikuti daun-daunan akan cenderung untuk dipusatkan berlapis-lapis di mana suatu jenis atau suatu kelompok jenis dari dewasa serupa tingginya mendominasi suatu posisi, sebagai contoh, di dalam hutan dipterocarp.
31.  Lapisan struktural kadang-kadang kelihatan pada diagram profil atau di dalam hutan dan jumlah dan tingginya lapisan akan tergantung pada tahap atau mewakili tahap siklus pertumbuhan. Tiga lapisan pohon di dalam pohon hutan hujan tropis yang selalu hijau dataran rendah adalah suatu yang abstrak menyenangkan menghadirkan status yang umum bangunan dan tahap dewasa mempertimbangkan bersama-sama. Tetapi pengambilan data dari suatu area tanpa memperhatikan langkah-langkah yang phasic akan pada umumnya mengaburkan keberadaan lapisan, kecuali Hutan dengan sedikit jenis atau kelompok yang mendewasakan pada kemuliaan berbeda.
32.  Penggunaan lain dari konsep stratifikasi pada ketinggian dimana jenis pohon tertentu atau bahkan keluarga-keluarga biasanya dewasa. Sebagai contoh, di Malaya muncul atau yang paling atas lak terdiri kebanyakan kelompok Dipterocarpaceae dan Leguminosae. Tentang Dipterocarpaceae,Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Shorea menyediakan banyak yang muncul dan sebagai pembanding Hopea dan Vatica pohon yang kecil yang B dan C lapisan. Hanya sedikit dari 53 jenis Leguminosae Pohon didalam Malaya adalah umum seperti muncul, terutama jenis Dialium, Koompassia, dan Sindora ( Whitmore 1972d). Hutan hujan dataran rendah selalu hijau Dipterocarp pada umumnya puncak kanopi pada 45 m, dan umumnya pohon individu mencapai tinggi 60 m. Pohon paling tinggi dicatat adalah Kompassia Excelsa ( 80'72 m Malaya, 83'82 m. Sarawak; Gambar. 4.2, p. 54) dan Dryobalanops aaromatica 67'1 m ( Foxworthy 1926). Timur Pilipina dipterocarps hanya di tempat penting dan kanopi lebih rendah, sebagai contoh, Vitex cofassus Pometia pinnata di dalam Hutan dataran rendah Bougainville pada umumnya 30- 35 m tinggi dengan muncul tersebar sampai 39 m ( Heyligers 1967).
33.  Burseraceae dan Sapotaceae berlimpah-limpah pada lapisan kanopi utama di barat Malesia dan lapisan puncak kanopi di timur Malesia. Pada daerah yang luas ini tingkat umumnya dikatakan lapisan C atau lapisan pohon bawah berisi kebanyakan jenis dua famili pohon paling besar, Euphorbiaceae dan Rubiaceae, dan banyak Annonaceae, Lauraceae, dan Myristicaceae, di antara yang lain.
34.  Pohon yang mencapai puncak kanopi terlihat ke atmospir eksternal, sangat trerisolasi, temperatur tinggi, dan pergerakan angin harus dipertimbangkan, dan harus yang sesuai diadaptasikan secara fisiologis. Di dalam kanopi microclimate sungguh berbeda, seperti telah digambarkan di pendahuluan pada bab ini dan dilanjutkan yang berikutnya. Mengikutinya mungkin salah satu yang dikenali dari dua kelompok yang berbeda jenis, menyesuaikan untuk diatur dua kondisi-kondisi ini; dan menarik seluruh jenis itu, atau bahkan seluruh familinya, memanfaatkan satu situasi atau yang lain. Jenis yang tumbuh dibawah naungan tetapi mencapai puncak dari kanopi pada tingkat dewasa dengan hidup di dua lingkungan sangat berbeda pada tahap berbeda dalam hidup, dan mungkin berubah secara fisiologis, meskipun demikian data eksperimen masih sebagian besar kekurangan.

5. Bentuk Pohon
35.  Pohon adalah bentuk hidup yang utama pada hutan hujan. Bahkan tumbuhan bawah sebagian besar terdiri dari tambuhan berkayu bergentuk pohon berhutan; semak belukar yang terlihat jarang, meskipun demikian lapisan D sering dengan bebas disebut “lapisan semak belukar”

6. Tajuk
36.   
37.  Aspek yang paling penting dari bentuk pohon untuk rimbawan yang disebut dalam bagian yang sebelumnya, adalah perbedaan antara konstruksi tajuk monopodial dan sympodial. Kebanyakan jenis berubah ke bentuk tajuk sympodial ketika mereka dewasa tetapi beberapa mempertahankan bentuk tajuk monopodial sepanjang seluruh hidup, sebagai contoh, semua Annonaceae dan Myristicaceae di hutan tropis timur jauh, ini umum terjadi di antara jenis pohon kecil berkembang di dalam kanopi. Rimbawan tertarik dengan volume kayu yang meningkat per area, dan pohon-pohon monopodial dengan karakteristik tajuk yang sempit, merupakan subyek yang lebih baik dalam penanaman dibandingkan jenis sympodial. Ini merupakan salah satu alasan mengapa conifer yang akan ditanam pada tropika basah yang memiliki daya tarik lebih untuk diperhatikan, khusunya Pinus spp tropis, dan Araucaria dan mengapa Shorea spp dari kelompok Dipterocarpaceae kayu Meranti Merah Terang dan jenis cepat tumbuh lainnya, jenis yang memerlukan cahaya, jenis kayu keras asli setempat, sepertiAlbizia falcata, Campnosperma, Endospernum dan Octomeles, memiliki perhatian yang terbatas.
38.  Tajuk pohon memiliki konstruksi yang tepat. Faktor utama yang menentukan bentuk tajuk adalah pertumbuhan apical versus lateral, meristem radial simetrik versus bilateral simetrik, berselang–seling dan berirama versus pertumbuhan berlanjut dari tunas dan daun atau bunga. Kombinasi faktor-faktor ini hanya memberikan pembatasan jumlah total dari model yang mungkin dari konstruksi tajuk. Arsitektur pohon tidak berkorelasi baik dengan taksonomi, beberapa famili kaya akan model, contohnya Euphorbiaceae dan yang lain miskin, contohnyaMyristicaceae.

7. Batang Pohon

39.  Untuk mengamati bentuk batang pohon di atas lantai hutan selalu lebih kurang seperti tiang, sedikitnya sampai bagian yang paling rendah, dan ia merasakan seolah-olah di dalam suatu katedral beratap hijau. Sesungguhnya ada beberapa yang pada umumnya dapat dibandingkan dengan lilin yang kecil, dapat dilihat pada pohon yang di tebang dan kelebihannya harus dibuat ketika membuat tabel volume untuk tujuan kehutanan.
8. Banir
40.  Tinggi Banir, menyebar, bentuk permukaan dan ketebalan biasanya tetap di dalam suatu jenis dan oleh karena itu, seperti bentuk tajuk penunjang adalah penuntun untuk identifikasi hutan. Ada sedikit bukti yang ganjil untuk menilai kebenaran atau jika tidak menyangkut penyamarataan yang umum bahwa pohon dengan akar ketukan dalam tidak membentuk penunjang, dan sebaliknya.

9. Kulit Batang
41.  Sesuatu kekeliruan umum bahwa semua atau sebagian pohon hutan memiliki kulit batang yang pucat, tipis dan licin. Ini jauh dari kenyataan, hutan hujan kaya dengan warna dan bayangan dari hitam (Dyospiros) sampai putih (Tristania), sampai warna coklat terang (Eugenia). Kecuali batang-batang pohon yang mengarah keluar iklim mikro hutan, seperti pohon yang dalam proses terisolasi dan pada pinggiran hutan, memiliki warna yang seragam yaitu abu-abu pucat. Sapihan dan tiang yang kecil memiliki kulit batang yang tipis dan lembut. Batang pohon dengan diameter di atas 0.9 m memperlihatkan suatu keaneka ragaman bentuk permukaan, secara kasar seperti bercelah, bersisik, atau “dippled”, dan beberapa licin. Setelah daun, karakteristik permukaan kulit batang dan penampilannya menjadi bantuan yang paling utama ke pengenalan jenis hutan dan mungkin punya arti untuk taksonomi. Beberapa famili homogen kulit batangnya dan yang lain menunjukkan pola gamut.

10. Bunga
42.  Biasanya bunga berkembang berhubungan dengan batang (Cauliflory) atau cabang (ramiflory) bervariasi antara formasi hutan hujan tropis yang berbeda.Cauliflory adalah paling umum di hutan hujan tropis dataran rendah yang selalu hijau dan berkurang sehubungan dengan pertambahan tinggi tempat.
11. Akar
43.  Suatu Pertumbuhan, memperbaharui minat akan sistem akar pohon hutan hujan tropis dengan pengembangan studi dalam produktivitas dan siklus hara.. Seperti kebanyakan kasus, kebanyakan akar ditengah hutan hujan ditemukan sampai pada 0.3 m atau kira-kira pada tanah. Banyak pohon yang sistem perakarannya dangkal dengan tidak menembus terlalu dalam semuanya. Beberapa, mungkin sedikit, mempunyai akar ketukan dalam, tetapi oleh karena; berhubungan dengan berbagai kesulitan dalam pelaksanaannya maka sistem perakaran sangat sedikit dipelajari. Nye dan Greenland (1960) sudah memberi perhatian pada peran penting akar secara relatif , beberapa menembus ke kedalaman tertentu untuk mengambil hara mineral dari pelapukan partikel batuan atau horizon alluvial, di samping peran mereka sebagi penstabil dan jangkar. Sesungguhnya sangat sukar untuk mengetahui akar mana yang sangat bagus dan merupakan ciri hidup mereka. Komponen ini kemudian biasanya diremehkan, meskipun demikian esuatu yang sangat substansial dalah menegtahui jumlah biomassa akar. Biomassa akar merupakan urutan kesepuluh dari total biomassa dari dua hutan yang dipelajari. Hal ini merupakan alasan yang dapat dipercaya menagapa akar terkonsentarsi di permukaan karena hara inorganik terbentuk di sana sebagai hasil dekomposisi sisa-sisa bagian tumbuhan yang jatuh dan hewan yang mati.
44. 
struktur hutan


12. Epifit, pemanjat dan pencekik
45.  Epifit dan pemanjat dibuat stratifikasi. Di dalam masing-masing synusia dua kelompok utama dapat dikenali, suatu photophytic atau kelompok yang memerlukan matahari , menyesuaikan diri secara morfologi maupun fisiologi dengan iklim mikro dari kanopi hutan, dan skiophytic atau kelompok yang memerlukan keteduhan, menyesuaikan diri dengan daerah yang lebih dingin, lebih gelap dan lebih lembab pada iklim mikro dari kanopi hutan, meskipun demikian perbdaan ini tidak pernah absolut.

13. Epifit
46.  Epifit tajuk pohon seperti kebanyakan anggrek dan EricaceaeDalam hutan hujan tropika banyak tumbuh golongan epifit yang jumlahnya kurang lebih 10% dari pohon-pohon dalam hutan hujan (Richards, 1952). Epifit adalah semua tumbuh-tumbuhan yang menempel dan tumbuh di atas tanaman lain untuk mendapatkan sinar matahari dan air. Akan tetapi epifit bukanlah parasit. Epifit bahkan menyediakan tempat tumbuh bagi hewan­hewan tertentu seperti semut-semut pohon dan memainkan peranan penting dalam ekosistem hutan. Sebagian besar tanaman ini (seperti lumut, ganggang, anggrek, dan paku-pakuan) tingkat hidupnya rendah dan bahkan lebih senang hidup di atas tumbuh­tumbuhan lain daripada tumbuh sendiri.


14. Pemanjat
47.  Banyak pemanjat yang menjangkau puncak kanopi mempunyai bentuk tajuk, dan sering juga ukuran, dari tajuk pohon. Pemanjat biasanya dengan bebas menggantung pada batang pohon, dan dapat berubah menjadi pemanjat berkayu besar. Mereka diwakili oleh banyak famili tumbuhan. Semua kecuali dua jenis dicurigai Gymnosperm Gnetum adalah pemanjat berkayu besar. Di antara pemanjat berkayu besar yang paling umum adalah Annonaceae. Palm yang menjadi pemanjat, rotan, adalah kelas penting lainnya dari pemanjat berkayu besar yang merupakan corak hutan hujan.
48.  Pemanjat berkayu paling besar adalah photophytes dan tumbuh prolifically di dalam pembukaan hutan dan pinggiran hutan, menimbulkan dongeng yang populer rimba raya tebal yang tak dapat tembus. Mereka bertumbuh dalam gap dan tumbuh dengan tajuk pada pohon muda, maka akan ikut dengan bertumbuh tingginya penggantian kanopi. Mereka juga bertumbuh setelah operasi penebangan dan boleh membuktikan suatu rintangan serius kepada pertumbuhan suatu hutan

15. Pencekik
49.  Para pencekik adalah tumbuhan yang memulai hidupnya sebagai epifit dan menurunkan akar ke tanah dan meningkat dalam jumlah dan ukuran dan bertahan di bawah tekanan dan akhirnya dapat membungkus pohon yang menjadi tuannya sehingga sering pohon itu kemudian mati. Contoh pencekik adalah Schefflera, Fagraea, Timonius, Spondias dan Wightia.

Formasi ekosistem hutan terjadi akibat pengaruh faktor lingkungan yang dominan terhadap pembentukan dan perkembangan komunitas dalam ekosistem hutan. Pengelompokan formasi hutan didasari oleh paham klimaks, yaitu komunitas akhir yang terjadi selama proses suksesi. Paham klimaks berkaitan dengan adaptasi tumbuh-tumbuhan secara keseluruhan mencakup segi fisiologis, morfologis, syarat pertumbuhan, dan bentuk tumbuhnya, sehingga kondisi ekstrem dari pengaruh iklim dan tanah akan menyebabkan efek adaptasi pohon serta tumbuh-tumbuhan lainnya menjadi nyata. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap bentuk susunan ekosistem hutan (formasi hutan).

Berdasarkan atas faktor lingkungan yang memiliki pengaruh dominan terhadap bentuk susunan komunitas atau ekosistem hutan, maka ekosistem hutan dikelompokkan ke dalam dua formasi, yaitu formasi klimafis dan formasi edafis. Formasi klimatis disebut juga formasi klimaks iklim, sedangkan formasi edafis disebut juga formasi klimaks edafis. Pengertian dari masing-masing formasi adalah sebagai berikut.
1.      Formasi klimatis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim, misalnya temperatur, kelembapan udara, intensitas cahaya, dan angin. Ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis, yaitu hutan hujan tropis, hutan musim, dan hutan gambut (Santoso,1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Schimper (1903 dalam Arief, 1994), ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis, yailu hutan hujan tropis, hutan musim, hutan sabana, hutan duri, hutan hujan subtropis, hutan hujan temperate, hutan konifer, dan hutan pegunungan. Menurul Davy (1938 dalam Arief,1994), hutan-hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis adalah hutan hujan tropis, hutan semi hujan, hutan musim, hutan pegunungan atau hutan temperate, hutan konifer, hutan bambu atau hutan Gramineae berkayu, dan hutan Alpine.
2.      Formasi edafis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah, misalnya sifat-sifat fisika, sifat kimia, dan sifat biologi tanah, serta kelembapan tanah. Ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi edafis, yaitu hutan rawa, hutan payau, dan hutan pantai. Schimper, 1903 dalam Arief, 1994 menyebutkan hutan-hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis mencakup hutan tepian, hutan rawa, hutan pantai, dan hutan mangrove. Menurut Davy (1938 dalam Arief, 1994) yang termasuk ke dalam kelompok formasi edafis, yaitu hutan riparian, hutan rawa, hutan mangrove, hutan pantai, hutan kering selalu hijau, hutan sabana, hutan palma atau hutan nipah, dan hutan duri. Hutan riparian (riparian forest)dianggap sebagai subtipe hutan hujan tropis, sedangkan hutan nipah (nipha forest)sering dianggap sebagai konsosiasi dari hutan payau atau hutan rawa; bergantung kepada faktor edafisnya.
Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:
·         Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
·         Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
·         Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.
Hutan gambut ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
Hutan muson tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).

Sumber :