Jumat, 24 Mei 2013

BELAJAR TENTANG HUTAN HUJAN TROPIS DATARAN TINGGI TELE DAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU


Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Goevernment of North Sumatera Province
INDONESIA




Berikut merupakan inspirasi Penulis untuk menggelitik dan mengeksplorasi paradigma kita tentang topik dimaksud.



PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU
  1. Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutanpenggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan.
  2. Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.
  3. Areal Penggunaan Lain yang selanjutnya disebut APL yang telah dibebani izin peruntukan adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan.
  4. Hutan produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya disebut HPK adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
  5. Tukar menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan.
  6. Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan. 
  7. Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
  3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4813);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
  10. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112);
  14. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Republik Indonesia;
  15. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
  16. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
  17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal dari Hutan Hak, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007;
  18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2007 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi;
  19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 215);
  20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2009 tentang Pemasukan dan Penggunaan Alat Untuk Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Atau Izin Pemanfaatan Kayu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 265); 
  21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 377);
  22. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);



PERSYARATAN AREAL DAN PEMOHON SERTA KEWENANGAN PEMBERIAN
IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK)

Bagian Kesatu
Persyaratan areal dan pemohon

Pasal 2

(1) Persyaratan areal yang dapat dimohon IPK meliputi :
a. HPK yang telah dikonversi dengan cara pelepasan kawasan hutan atau kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan;
b. penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan; atau
c. APL yang telah diberikan izin peruntukan.

(2) Pemohon yang dapat mengajukan IPK adalah:
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Negara;
d. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); atau
e. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).

(3) Areal pada penggunaan kawasan hutan dengan cara pinjam pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, izin pinjam pakai kawasan hutan melekat dan berlaku sebagai IPK.

(4) Permohonan IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dikecualikan
terhadap pemanfaatan kayu yang tidak ekonomis.

Pasal 3

Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), meliputi:
a. Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi.
b. Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung bagi 13
(tiga belas) izin pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor
41 Tahun 2004 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
c. Izin pinjam pakai kawasan hutan selain untuk kegiatan pertambangan, baik pada kawasan
hutan produksi maupun pada kawasan hutan lindung.

Bagian Kedua
Sanksi Bagi Izin Pemanfaatan Kayu

Pasal 51
(1) IPK dapat dicabut, apabila pemegang IPK:
a. tidak melaksanakan kegiatan pemanfaatan kayu secara nyata dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak diterbitkannya IPK;
b. meninggalkan areal IPK selama 45 (empat puluh lima) hari berturut-turut sebelum IPK
berakhir;
c. memindahtangankan IPK tanpa seizin pemberi izin; atau
d. melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.

(2) Sanksi pencabutan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
b, dan c didahului dengan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu
masing-masing peringatan 20 (dua puluh) hari kerja, oleh pemberi izin.

(3) Sanksi pencabutan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
tanpa diberi peringatan terlebih dahulu setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.


Lampiran II
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor :
Tanggal :

DAFTAR KAWASAN LINDUNG

Kawasan Lindung yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Pasal 37 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Hutan Lindung.
2. Kawasan Bergambut.
3. Kawasan Resapan Air.
4. Sempadan Pantai.
5. Sempadan Sungai.
6. Kawasan Sekitar Danau/Waduk.
7. Kawasan Sekitar Mata Air.
8. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa).
9. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang atau terumbu karang dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem).
10. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove).
11. Taman Nasional.
12. Taman Hutan Raya.
13. Taman Wisata Alam.


Sanksi Pidana di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140);

Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).



"Keputusan dari suatu kebijakan yang salah, ibarat menitipkan malapetaka".




Tidak ada komentar:

Posting Komentar