Selasa, 07 Mei 2013

BELAJAR TENTANG LAHAN GAMBUT DI HUTAN HUJAN TROPIS (DATARAN TINGGI, PEGUNUNGAN DAN DATARAN DENGAN CIRI KHAS SPESIFIK)

Private Library of Simamora, Helmut Todo Tua
Environment, Research and Development Agency
Samosir Regency Government of North Sumatera Province
INDONESIA



Berikut merupakan kutipan ilmiah yang disusun dan digunakan Penulis sebagai referensi pribadi.


Ringkasan :
Fungsi Lahan Gambut :
  1. Sebagai cadangan air (reservoir) dengan kapasitas yang sangat besar.
  2. Memiliki peran hidrologis yang penting, jika tidak mengalami gangguan lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m3/m3 hingga 1 m3/m2.
  3. Dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau.
  4. Tempat pemijahan ikan dan tempat jenis satwa liar termasuk jenis-jenis endemik.
  5. Mengatur proses penyimpanan dan pelepasan karbon dioksida ke atmosfir secara alami.

Lokasi spesifik :
1. Dataran tinggi, meliputi perbukitan dan pegunungan.
2. Dataran dengan ciri khas tertentu. 


Penjelasan

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi[1]. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar.

Gambut itu lunak dan mudah untuk ditekan. Bila ditekan , kandungan air dalam gambut bisa dipaksa untuk keluar. Bila dikeringkan , gambut bisa digunakan sebagai bahan bakar sumber energi. Gambut adalah bahan akar penting dinegara negara dimana pohon langka seperti Irlandia dan Skotlandia, secara tradisional gambut digunakan untuk memasak dan pemanas rumah tangga . Secara modern, gambut dipanen dalam sekala industri dan dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar ada di Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW.[4]

Hutan rawa gambut adalah jenis hutan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal yang terbuat dari bahan organik. Lapisan bahan organik ini terdiri dari tumpukan bahan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar, ranting, bahkan batang pohon lengkap, yang telah terakumulasi selama ribuan tahun. Gambut tersebut membentuk media tumbuh yang semakin terangkat setiap pergantian generasi tumbuhan, dan hal tersebut menghasilkan lapisan tebal yang dapat mencapai ketebalan hingga lebih dari 20 meter. Lapisan tersebut hanya terbentuk dalam kondisi tertentu, karena bahan tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat mengalami penguraian oleh jamur, bakteri dan organisme lainnya.

Namun dikarenakan sifat lahan gambut yang sangat “anaerobic” dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur hara, maka proses biodegradasi berkurang secara signifikan. Kondisi lingkungan seperti itu terlalu ekstrim bagi proses penguraian untuk dapat terjadi, sehingga terjadilah penumpukan tumbuhan mati tersebut dalam tanah. Sehingga dengan demikian, hutan rawa gambut menjadi media penyimpanan sumber air dan karbon dalam jumlah yang amat besar.

Selain kaya akan keanekaragaman hayati, setengah dari seluruh kawasan hutan rawa gambut adalah merupakan sungai-sungai, danau-danau dan vegetasi hutan rawa yang endemik. Hutan rawa gambut ada dangkal dan dalam serta mempunyai keunikan dengan airnya yang berwarna hitam bahkan sering dikenal dengan nama ekosistem air hitam. Kabarnya, menurut Informasi Departemen Kehutanan tahun 1997, lahan gambut Indonesia merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar.

Bila 1 meter persegi gambut mengandung 1 meter kubik air (1.000 liter), setara dengan menyediakan air untuk 10 jiwa penduduk. Bila 1 juta ha, gambut bisa menyimpan air sebesar 1 trilyun liter dan ini setara dengan kebutuhan air untuk 10.000.000 jiwa, dimana kebutuhan normal setiap 1 orang/jiwa penduduk sebesar 100 liter/hari untuk mandi, cuci, kakus dan masak – minum.

Menurut hasil penelitian Cintrop Universitas Palangkaraya, tanah gambut dalam kondisi yang tak terganggu itu mengandung 80 – 90 persen mengandung air. Karena kemampuannya untuk menyimpan air dalam jumlah besar itu, hutan rawa gambut berperan penting dalam mengurangi banjir dan menjamin pasokan air yang berkelanjutan

Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 miliar terajoule[2].

Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya, biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di perairan setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.

Lazimnya di dunia, disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30%; akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah dengan kandungan bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck.[1]

Pertambahan lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi) terutama bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. Gambut yang terbentuk pada kondisi yang teramat basah akan kurang terdekomposisi, dan dengan demikian akumulasinya tergolong cepat, dibandingkan dengan gambut yang terbentuk di lahan-lahan yang lebih kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog menggunakan gambut sebagai indikator perubahan iklim pada masa lampau. Demikian pula, melalui analisis terhadap komposisi gambut, terutama tipe dan jumlah penyusun bahan organiknya, para ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.

Pada kondisi yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batubara. Gambut bog yang terkini, terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es terakhir, sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini masih terus bertambah ketebalannya dengan laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai terbentuk tak kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt karbon.[3]

Gambut itu lunak dan mudah untuk ditekan. Bila ditekan , kandungan air dalam gambut bisa dipaksa untuk keluar. Bila dikeringkan , gambut bisa digunakan sebagai bahan bakar sumber energi. Gambut adalah bahan akar penting dinegara negara dimana pohon langka seperti Irlandia dan Skotlandia, secara tradisional gambut digunakan untuk memasak dan pemanas rumah tangga . Secara modern, gambut dipanen dalam sekala industri dan dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar ada di Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW.[4]
Gambut di Indonesia

Luas lahan gambut di Sumatra diperkirakan berkisar antara 7,3–9,7 juta hektare atau kira-kira seperempat luas lahan gambut di seluruh daerah tropika. Menurut kondisi dan sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut topogen dan gambut ombrogen.[1]

Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur; dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai.[1]

Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.[1]

Gambut ombrogen kebanyakan terbentuk tidak jauh dari pantai. Tanah gambut ini kemungkinan bermula dari tanah endapan mangrove yang kemudian mengering; kandungan garam dan sulfida yang tinggi di tanah itu mengakibatkan hanya sedikit dihuni oleh jasad-jasad renik pengurai. Dengan demikian lapisan gambut mulai terbentuk di atasnya. Penelitian di Sarawak memperlihatkan bahwa gambut mulai terbentuk di atas lumpur mangrove sekitar 4.500 tahun yang lalu[5]; pada awalnya dengan laju penimbunan sekitar 0,475 m/100 tahun (pada kedalaman gambut 10–12 m), namun kemudian menyusut hingga sekitar 0,223 m/100 tahun pada kedalaman 0–5 m[6] Agaknya semakin tua hutan di atas tanah gambut ini tumbuh semakin lamban akibat semakin berkurangnya ketersediaan hara.

Di Indonesia, daerah hutan gambut menyimpan karbon dalam jumlah sangat banyak yang terakumulasi dalam tanah tanah yang lunak dan terendam air di bawah permukaan tanah. Ketika bagian ini ditebangi dan rawa gambut dikeringkan untuk penanaman tanaman budidaya seperti kelapa sawit, maka sejumlah besar karbon dioksida akan dilepaskan ke atmosfer.

“Untuk setiap tahun pengeringan lahan gambut, bertambah 8 sampai 12 ton karbon per hektar dilepaskan ke atmosfer,” ujar Verchot.




Rujukan
  1. ^ a b c d e Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, A.J.Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatra. Gadjah Mada Univ. Press. Jogyakarta. Hal 245-251
  2. ^ World Energy Council (2007). "Survey of Energy Resources 2007" (pdf). Diakses 2008-08-11.
  3. ^ International Mire Conservation Group (2007-01-03). "Peat should not be treated as a renewable       energy source" (pdf). Diakses 2007-02-12.
  4. ^ http://www.industcards.com/st-other-finland.htm
  5. ^ Wilford, G.E. 1960. Radiocarbon age determinations of Quaternary sediments in Brunei and north east Sarawak. British North Borneo Geol. Survey Ann. Rep.
  6. ^ Anderson, J.A.R. 1964. The structure and development of peat-swamps of Sarawak and Brunei. J. Trop. Geog. 18:7–16.
  7. http://blog.cifor.org/13072/kebijakan-pengurangan-emisi-harus-berdasarkan-akurasi-pengukuran-karbon/#.UYjU-0Np9og

Tidak ada komentar:

Posting Komentar